Meant to be
Meant to be
Clesya / XI AK 1
This is their story. They are meant to be.
PROLOG
Alea Keana menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur dengan mata sembab, ia baru saja menyelesaikan novel berjudul “About Bandung” karya Elio Putra. Alea menatap novel di tangannya dengan tatapan kosong. Ia memikirkan betapa hebatnya tokoh laki-laki dicerita ini dan betapa indahnya tulisan yang ditulis oleh sang penulis.
Buku ini mengisahkan tentang anak laki-laki bernama Deverra yang bercerita tentang ayahnya, laki-laki tua pekerja keras yang sangat menyayanginya. Deverra menuangkan kenangan bersama ayahnya di Bandung dengan menulis kegiatan sehari-hari yang biasanya mereka lakukan, sejak kecil hingga napas terakhir ayah kesayangannya.
Alea beranjak duduk ke tepi tempat tidurnya. Ia menjangkau nakas daan meraih ponselya. Ia berniat untuk memberi feedback pada penulis buku itu lewat sosial media. Alea mencari nama Elio Putra di search bar Instagram. Menemukan akun penulis itu seperti membalikkan telapak tangan. Akun dengan nama pengguna @elioputra_ yang memiliki sepuluh ribu pengikut itu berada di paling atas hasil pencarian.
“Hi, I just finished reading your book. I wanna say thankyou for making that amazing book. It was so beautiful, for real. Prettiest book I’ve ever read. Can’t wait for Deverra’s next adventure!”
Alea memberanikan diri untuk mengirim sebuah pesan manis untuk penulis itu. Tak ada salahnya untuk mengapresiasi seorang penulis meskipun hanya seutas pesan, bagi penulis, itu cukup berarti.
Alea merupakan seorang pelajar yang menduduki kelas duabelas. Wanita cantik yang sangat suka membaca buku fiksi. Bergenre romance pastinya.
Perempuan itu lalu menghubungi sahabatnya, Zetta. Zetta adalah satu-satunya sahabat Alea sejak ia kecil. Dua sekawan itu tidak terpisahkan hingga saat ini. Zetta adalah tempat berbagi apa pun yang Alea ingin ceritakan. Keluhan, tangisan, bahkan kehebohan Alea selalu Zetta dengarkan. Alea tak pernah berhenti menceritakan tentang buku ‘About Bandung’ semenjak hari pertama ia membelinya. Meskipun begitu, Zetta selalu senantiasa mendengarkan.
Tut tut tut. Suara telepon tersambung.
“Zettaaaaaaaa! Lo harus banget baca buku About Bandung. BAGUS BANGET GILA ZET GUE MAU NANGIS BANGET,” heboh Alea.
“Alea! Bisa pelan-pelan aja gak suaranya, gak usah teriak-teriak!” omel Zetta.
“Hehehe maaf. Pokoknya lo harus baca buku itu! Sekarang banget!”
“Buku yang bikin lo nangis semalaman?”
“Iya! Mau gue pinjemin gak?”
“Nggak deh, gue gak suka baca buku-buku romansa.”
Alea dan Zetta memiliki selera yang sangat berbeda dalam novel. Seperti yang telah ketahui bahwa Alea sangat suka novel romansa, sedangkan Zetta lebih menyukai novel thriller.
Seusai berbincang dengan Zetta melalui telepon, Alea bersiap-siap untuk pergi ke Perpunas. Alea selalu menghabiskan waktu weekend nya di Perpusnas untuk meminjam buku-buku baru atau sekedar duduk dan membaca buku. Menurutnya aroma lembaran-lembaran buku disana memberi rasa nyaman.
・❥・・❥・
Seorang laki-laki keluar dari ruangannya. Elio berjalan dengan tangan masih memegang handuk di kepala, mencoba mengeringkan rambut basahnya sehabis mandi. Ia mengenakan kaos putih dengan luaran kemeja flannel berwarna hitam serta celana jeans panjang. Ia menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhnya.
Ting!
Bunyi notifikasi pesan terdengar dari ponsel Elio, Ia mengintip pesan tersebut. Senyuman terbentuk di wajah pria itu walaupun hanya senyum tipis. Ia tidak menyangka buku yang ia tulis lima tahun lalu masih ada pembacanya. About Bandung adalah buku pertama yang ia tulis. Elio tak pernah peduli seberapa banyak peminatnya. Ia menulis buku itu untuk menuangkan kenangan bersama ayahnya.
Sejak kecil, laki-laki kelahiran 2004 itu sudah gemar menulis dan sangat menyukai aroma buku. Menulis surat, catatan kecil—yang semua ia lakukan untuk ayahnya. Saat ini ia menduduki kelas duabelas di sekolah ternama yang terletak di Jakarta.
“Thankyou:), Your compliment means a lot to me.” Elio membalas pesan tersebut lalu bergegas untuk pergi.
Elio tiba di tempt tujuannya, his comfort place and his favorite place. Baginya, perpustakaan adalah tempat untuk menemukan semua pertanyaan yang ia simpan di kepalanya.
“Hai, Elio. Kamu terlihat sangat bahagia hari ini. Semoga selalu begitu ya. Selamat membaca,” sambut petugas perpustakaan tersebut. Elio sering datang ke perpustakaan hingga ia cukup akrab dengan beberapa petugasnya.
Elio menoleh dan memberi senyuman pada petugas perpustakaan itu. Elio melangkahkan kakinya pada rak buku yang ada di depannya, dan mengambil satu buku. Dia menuju kursi kosong yang berada di pojok ruangan. The chair was like his own, he liked to sit in the corner of the room because no one was passing by and lost his focus while reading.
Setelah menduduki kursi itu, tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah buku bersampul putih yang tidak asing baginya. Ia penasaran dan meraih buku itu. Ia terkejut membaca judul bukunya. Buku yang berjudul About Bandung dan tertuliskan nama penulis yang bernama Elio Putra kini ada di tangannya.
Laki-laki itu membuka halaman per halaman buku itu untuk mencari nama pemiliknya. Hingga ketika hendak sampai halaman akhir, ada sesuatu yang menyelip di antara lembara itu. Sebuah sticky notes kuning yang ditempel pada halaman 299.
Dear Deverra,
If we can meet in the next life, let’s be friend. I will accompany you around Bandung every single day. I will listen all your beautiful story. I will be there when you need me.
And please hit me up :D 085279……
Kadang rasa bahagia akan timbul dengan cara yang sederhana. The writing on that sticky notes really made his day.
Elio menyadari di sticky notes itu tertera nomor telepon pemilik buku. Ia segera membuka ponselnya untuk menambahkan nomor itu ke kontaknya. Elio memberi nama kontak tersebut dengan nama ‘Buku’. Elio berniat menghubungi dan mengembalikannya.
Ini gue mesti mulainya gimana? Elio membatin. Jarinya sudah siap untuk mengetik namun ia bingung harus mengatakan apa. Lima menit berlalu, Elio masih belum mengirimkan pesan apa pun. Akhirnya ia hanya mengirimkan foto buku itu tanpa mengatakan apapun.
Beberapa menit berlalu, pemilik buku tersebut belum membalas pesan Elio. Sampai akhirnya, Elio meletakkan kembali buku tersebut ke tempat semula dan lanjut membaca buku yang ia pinjam tadi.
・❥・・❥・
Hari semakin sore dan suasana perpustakaan saat ini jauh dari kata ramai, hanya sisa beberapa orang yang sedang sibuk membaca buku yang ada ditangan mereka. Sinar matahari masuk ke dalam ruangan melewati jendela dan menerobos masuk tepat mengenai wajah Elio. Posisi ruangan menghadap ke arah barat dengan dinding yang sebagian besar terbuat dari kaca. Kursi yang ia duduki berada di pojok belakang persis tepatnya arah sinar matahari yang masuk. Elia mengernyit kala sinar matahari menusuk matanya, meskipun sinarnya yang tak lagi garang.
Ting! Bunyi notifikasi masuk di ponsel laki-laki itu. Elio melihat notifikasi tersebut dan pesan tersebut berasal dari kontak bernama ‘Buku’.
Buku :
Iyaa itu novel akuuu.
Bisa kamu balikin gak?
Elio :
Bisa.
Mau kapan?
Buku :
Kalau sekarang, bisa?
Di perpusnas.
Elio :
Saya masih di perpusnas kok.
Dimananya?
Buku :
Spot tengah, yang make sweater item,
Elio menghampiri wanita yang sedang menunggu di spot tengah perpustakaan. Seorang perempuan dengan rambut yang diikat satu dan mengenakan sweater hitam.
Perempuan itu duduk sendirian di bangku tengah. Ia sedang menunduk melihat ponselnya. Alea langsung mendongkak ketika mengetahui laki-laki yang membawa buku miliknya itu berjalan ke arah kursi yang ia duduki.
Langkah elio semakin mendekat. Ia menatap gadis itu, kemudia menyodorkan buku novel yang ia temukan tadi. “Yang punya buku?” tanyanya.
“Ah iya. Terima kasih.” Perempuan itu langsung menerima bukunya.
Bukannya pergi, laki-laki yang baru saja memberi buku itu malah menarik kursi dan duduk di hadapannya. Alea mengernyit. Ia menatap sekitar bingung, kenapa cowok ini malah duduk di depan gue?
Menyadari perempuan di depannya sedang kebingungan, Elio menunjuk buku yang sedang perempuan itu pegang. “Itu,” ujarnya singkat.
Alea mengerutkan dahinya bingung. “Ini?” ia berujar dengan mengangkat buku di tangannya. “Mau pinjem?”
“Iya.”
“Oke sebentar.” Alea membalik-balikkan lembaran di buku. Seperti mencari sesuatu. Namun sebenarnya ia melakukan irtu untuk mengulur waktu agar laki-laki yang berada di hadapannya tidak jadi meminjam buku yang ia pegang. Tak ada alasan, hanya saja ini adalah buku yang sedang ia sukai saat ini. Ia tak ingin meminjamkan pada orang asing.
“Saya mau—“
“Kayaknya kita seumuran, bicara non formal aja.”
“Oke. Kalau lo keberatan, gue baca sepuluh menit aja.”
“Hah? Sepeluh menit? Emang cukup?”
“Cuma mau baca halaman terakhir.”
Alea melebarkan matanya. “Tunggu, berarti lo udah baca dong?”
Elio mengangguk pelan.
“Astaga!” Alea menghembungkan napas. “Akhirnya gue ketemu sama orang yang baca buku ini juga. Siapa karakter favorit lo?” Alea bertanya antusias, tak lupa dengan senyum merekah di wajahnya.
Elio pura-pura memasang tampang berpikir. “Obviously, it’s Alshad.”
“Yah... beda. Kalau gue suka Deverra,” sahut Alea
“Kenapa lo suka Deverra?” tanya Elio penasaran/
Perempuan itu melipat tangannya di atas meja. Bersiap untuk menjawab pertanyaan yang menarik baginya. “Kata orang, masa kecil itu membentuk karakter. Gue menemukan Deverra itu bukan anak kecil biasa, bisa dilihat dari perjuangan dan watak dia sendiri yang I think he’s super cool!”
Elio mendengarkan perempuan itu dengan sedikit melamun, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mengingat kejadian lima tahun yang lalu—memori-memori lama yang sempat hilang kini muncul lagi di kepalanya. Elio hanya mengangguk-angguk pelan sebagai respons dari jawaban Alea.
“Kalau lo? Kenapa suka Alshad?”
“Sederhana, dia ayah yang baik.”
Alea mengangguk setuju. Elio merasa sedikit gugup karena ia harus bersikap seperti pembaca. Ia tak berniat memberitahu perempuan itu karena ia ingin mengetahui perspektif pembaca tentang buku yang ia tulis itu.”
“Deverra dan Alshad sebelas dua belas, sih. Gue yakin Deverra gedenya mirip Alshad, persis.”
“Oh, ya?” Elio menaikkan alisnya seakan sedikit tak percaya.
Alea mengangguk cepat. Perempuan itu kembali mengarahkan pandangannya pada novel yang Elio pegang.
Elio menatap jam ditangannya, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. “Gue harus pergi, terima kasih pinjamannya,” ujar Elio yang beranjak dari duduknya, siap melangkah meninggalkan Alea.
“Eh, tunggu, “
“Gue Alea, Alea Keana. Lo?” ucapnya dengan mengulurkan tangan kananya. Perempuan itu memperkenalkan dirinya. Elio menghentikan langkahnya dan sontak menoleh.
“Gue Elio— “ Laki-laki itu ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Namun akhirnya ia berkata, “Elio Putra.” Kemudian ia melangkah pergi dan meninggalkan perpustakaan dan Alea yang sedang memikirkan nama yang tidak asing itu. Alea melihat buku yang ada di pegangannya, seketika mata Alea melebar setelah menyadarinya. “Tunggu, Elio Putra? ELIO PUTRA?”
・❥・・❥・
Alea membanting diri ke atas kasur. Sepanjang jalan pulang ia masih memikirkan laki-laki yang baru saja ia temui. Elio Putra.
Beneran Elio Putra gak si? Bohong kali ya?
Aduh gue tadi malu-maluin gak ya?
Masa iya dia penulis buku kesayangan gueeee?
Pikiran Alea berkecamuk. Apakah benar yang menemui novelnya adalah sang penulis novel itu sendiri? Alea memastikannya dengan mengirim pesan kepada nomor asing yang beberapa jam yang lalu mengirimkan pesan kepadanya untuk mengembalikin bukunya.
Alea Keana :
Lo beneran Elio?
Alea berguling-guling di kasur karena tidak tenang menunggu balasan laki-laki tersebut.
Ting!
Bunyi notifikasi pesan dari ponsel Alea. Wanita itu langsung memeriksanya. “Akhirnya! Dibales!”
081226xxxxxx :
Iya.
Alea Keana :
Penulis buku Meant To Be?
081226xxxxxx :
Iya.
Alea berdecak membaca balasan singkat itu.
Alea Keana :
Lo besok ke perpusnas, gak?
081226xxxxxx :
Iya.
Alea tidak lagi membalas pesan tersebut. Ia bertekad untuk menemui laki-laki yang ‘ngakunya’ sebagai penulis buku kesayangannya besok di perpusnas.
・❥・・❥・
Keesokan harinya, Alea tiba di perpusnas. Wanita itu mencari seorang yang memenuhi pikirannya semalaman. Ia melihat laki-laki di pojok ruangan memakai kemeja coklat dan jeans hitam. Merasa yakin bahwa itu adalah orang yang ia cari, Alea pun menghampirinya.
“Elio?” sapa Alea.
Elio yang sedang sibuk membaca buku sontak mendongkak.
Alea menarik kursi di hadapannya untuk diduduki, seperti yang dilakukan Elio kemarin.
“Lo beneran Elio Putra?” Alea bertanya.
“Lo udah nanya itu di chat dan udah gue jawab.”
“Tetep aja! Lo boong ya? Elio Putra orang Bandung. Biasanya gue bisa langsung ngeh kalau ngobrol sama orang Bandung.”
Elio mengangkat alis bingung. “Apanya yang— “
“Lo ngaku-ngaku ya?” Alea menyela.
Elio menghembuskan napas lelah, lalu mengembalikan pandangannya pada buku yang dia baca tanpa merespons gadis itu. Alea tengah sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang ia lakukan.
Tak lama kemudian, ponsel Elio bergetar. Dia mengeluarkan ponsel dari sakunya. Muncul notifikasi DM Instagram di layar.
@aleakeana: Hai Elio. Apakah kamu sedang di Perpustakaan Nasional Indosiea? Aku bertemu orang yang mengaku kamu.
Laki-laki itu mengeryit dan tertawa kecil. Spontan ia hendak menunjukkan pesan yang iaa terima pada perempuan yang berada di hadapannya. Namun, belum saja Elio melakukan itu, Alea sudah membuka mulutnya terkejut ketika mengetahui pesan yang ia kirim sampai pada ponsel milik laki-laki itu. Mata Alea melebar maksimal dan refleks tangannya menutup mulut. Sosok laki-laki di depannya ini benar-benar penulis buku favoritnya, Elio Putra.
“Beneran apa asli?” Elio tertawa kecil.
Alea kemudian meringis dan berusaha memalingkan wajahnya. “Malu banget, sialan,” gumamnya kesal.
Elio masih tertawa kecil. Pandangannya sudah kembali pada buku, namun fokusnya teralihkan. Tampangnya seperti menahan tawa, sesekali ia mengintip perempuan di hadapannya yang sedang berusaha menyembunyikan wajahnya.
“Terima kasih udah baca.” ujar Elio memecah kecanggungan.
“Hah? Oh ya… gue akui tulisan lo indah, banget.”
Elio tersenyum tipis mendengar kalimat itu.
“Lanjutin dong,” kata Alea.
Laki-laki itu menggelengkan kepalamya. “Males.”
Kata yang berhasil membuat Alea memasang tampang kesal. Antusiasnmenya berkurang sudah. Alasan dari penulis yang paling tidak masuk akal yang pernah ia dengar.
“Lo suka Bandung?”
“Iya!” Alea menjawab dengan antusiasme yang kembali melebur. “Gue suka banget sama Bandung. Pengen banget kesana, tapi gak pernah kesampean.”
“Dari Jakarta ke Bandung cuman tiga jam.”
“Iya, tapi gak pernah diajak sama bokap nyokap dan gak dibolehin pergi sendiri atau bareng temen.”
Elio mengangguk mengerti. “Lo kelas berapa?”
“Dua belas.”
“Sama.”
“Bentar lagi mau lulus, lo mau lanjut kuliah dimana?”
“UGM,” jawab Elio
“Kenapa milih UGM?”
“Bokap gue lulusan sana dan dia minta gue buat disana juga.”
Alea mengangguk mengerti. Elio bangkit dari duduknya. “Gue duluan,” pamitnya.
“Eh, are we friend now?” tanya Alea.
Elio mengangguk sebelum benar-benar meninggalkan Alea. Wanita itu tersenyum.
・❥・・❥・
SATU
Sebulan berlalu. Semua terjadi begitu cepat, sehingga hari-hari yang mereka lalui beberapa bulan hanya seperti mengedipkan mata. Alea cukup sibuk akhir-akhir ini, tugas sekolah semakin hari semakin padat. Bahkan, ujian kelulusan semakin dekat.
Zetta, sahabat Alea, yang memiliki nasib dam berada di sekolah yang sama dengannya, sudah merencanakan agar mereka pergi mencari angin dan menghirup udara segar. Kebetulan sudah memasuki akhir pekan, Zetta mengajak Alea pergi ke kafe.
Mereka tiba di sebuah kafe, Kafe Pak Didi, yang adalh kafe milik Om Didi, Om-nya Zetta. Kafe ini cukup nyaman dan popular di kalangan anak muda Jakarta.
“Dua cappuccino?” tanya barista yang menghampiri dengan membawa nampan berisi dua cangkir pesanan mereka.
“Iya Kak, terima kasih.”
Alea menyeruput kopinya. “Hm… enak.” ujarnya sambal mengangguk cepat.
“Gue bilang juga apa?” kata Zetta lalu menyeruput kopinya juga.
Alea meringis, ia pernah mengira bahwa dirinya sangat membenci kopi. Ternyata rasanya tak seburuk itu, bahkan bisa dibilang ia mulai menyukainya. Perempuan itu mengangkat cangkirnya lagi, meniup kopi di dalamnya lalu menyeruputnya. Alea menikmati kopinya sambal melihat sekitar. Tiba-tiba ada sesuatu yang memberhentikan fokusnya, seperti taka sing. Ia memincingkan matanya agar penglihatannya lebih jelas. Ia sudah mendapat kontak mata orang itu, dengan sigap ia langsung mengalihkan pandangannya.
Zetta memperhatikan Alea dengan tampang heran, ia ikut mengarahkan pandangannya ke meja yang Alea lihat. Zetta mendapati ada seseorang yang ia kenal di sana. Teman lamanya. Lambaian tangan yang Zetta beri tertuju pada meja itu.
“Woi, Jeno!” seru Zetta pada seseorang. Yang dipanggil mengenal Zetta dan melambaikan tangannya balik. Perempuan itu langsung beranjak dari duduknya. Sebelum ia melangkah. Zetta mengajak Alea untuk menghampiri mereka. Alea pun membuntutinya.
Jeno berdiri dan memberi tos pada Zetta. Laki-laki itu adalah sohibnya semasa SD. Jika kalian bertanya kenapa Zetta dengan cepat dapat mengenalinya, jawabannya karena mereka masih berhubungan baik di sosial media, masih sering menanyakan kabar satu sama lain.
Jeno tidak sendirian, ia membawa dua temannya yang lain. “Eh, si Zetta. Lo lama nggak keliatan.”
“Iya, gue udah jarang ke sini, tugas numpuk, ujian di depan mata, Cuy.”
“Eh, nih kenalin, Zetta, teman SD gue dulu.”
Mereka menyambutnya dengan senyuman. Tak lupa juga Zetta menyodorkan tangannya pada teman-teman Jeno. Dengan tatapann ramah, mereka memperkenalkan diri mereka masing-masing.
“Abel.”
“Elio.”
Laki-laki postur tinggi, kulit putih, bersih, dan memiliki lesung saat melengkungkan senyumnya; Abel. Dan disampingnya—laki-laki tinggi berkacamata dengan senyum tipisnya menggunakan kemeja flannel; Elio. Elio, laki-laki yang tadi sempat berkontak mata dengan Alea, laki-laki yang ia temui beberapa bulan lalu di perpustakaan.
“Ini temen gue.” Kata Zetta menyenggol Alea yang bukannya memperkenalkan diri melainkan melamun.
“Eh, sori sori, gue… duh apa ya tadi? Oh gue—”
“Alea?” Elio tiba-tiba menyela dan menyebut namanya. Ia juga dengan sigap membalas jabatan tangan yang perempuan itu berikan. Dan langsung melepaskannya sekaligus.
Teman-teman Elio memasang raut terkejut seakan mereka terheran. Bagaimana bisa seorang manusia seperti Elio yang tak pernah mengingat atau mengenal satu pun teman perempuannya, bahkan teman sekelasnya sendiri sekalipun—bisa mengenal perempuan yang bahkan temannya itu tidak kenal.
“Kalian saling kenal?” Zetta bertanya pada Alea.
“Oh, iya, kita pernah kenalan sih waktu itu. Lo inget buku gue yang ilang? Itu ternyata dia pen—”
“Ehem,” Elio berdeham membuat Alea spontan menoleh. Pria itu menggeleng cepat saat Alea menatapnya, seolah memberi isyarat agar ia tak memberi tahu mereka.
“Oh itu… dia… hm—penemu! Iya, dia penemu buku gue,” lanjut Alea dengan meringis. Gadis itu panik kebingungan untuk mencari alasan. Ia tak pandai berbohong, apalagi membuat alasan. Namun akhirnya teman-teman Elio mengangguk paham, Zetta pun memercayai alasan sahabatnya itu.
Mereka duduk di satu meja. Berbincang dan menceritakan kehidupan sekolah sebagai anak kelas duabelas yang sekarang mereka rasakan.
Alea dan Elio duduk bersebelahan, tanpa obrolan apa pun dari keduanya. Keduanya hanya melirik satu sama lain kemudia mengalihkan pandangannya, tak hanya sekali melakukan itu. Mereka hanya menyunggingkan senyum tipis setiap ingin merespons obrolan. Suasana canggung melingkupi keduanya.
Elio berinisiatif untuk memecahkan suasana itu, laki-laki itu menggeser duduknya mendekat pada Alea. “Jangan bilang-bilang,” bisiknya pada perempuan di sebelahnya.
Alea mendekatkan telinganya pada pria itu. “Hah?”
“Jangan bilang kalau gue penulisnya.”
“Emang kenapa, sih?” Alea mengerutkan dahi.
“Malu….”
Alea spontan menatap wajah Elio yang sedang menunduk memainkan jarinya. Elio menghindari tatapan perempuan itu. Namun, Alea tak berhenti menatap.
“Apa sih?” Elio berbicara agar perempuan itu behenti menatapnya. Bukan karena takut—namun ia benar-benar malu, entah malu untuk mengakui bahwa ia penulisnya atau malu karena perempuan itu tak berhenti melepaskan pandangan darinya.
“Ya, lo aneh aja, masa jadi penulis itu hal yang memalukan?” Alea melipat tangannya di depan dada, ia menyandarkan dirinya pada sofa empuk itu untuk menyamankan posisinya. Posisi duduknya sedikit lebih mundur dari posisi sebelumnya. Elio terpaksa harus menoleh ke belakang untuk melihat lawan bicaranya.
“Nih, kalau nggak percaya,” Alea sedikit memiringkan badan ketika akan mengambil ponselnya dari saku. Ia membuka aplikasi Goodreads, aplikasi ulasan-ulasan buku dari para pembacanya. Alea memberi isyarat pada laki-laki itu untuk mendekat. Otomati Elio juga menyandarkan dirinya dan kemudian mengarahkan pandangannya pada layar ponsel Alea.
“Wah, banyak juga.” Elio mengangguk mengakui pernyataan itu. Kurang lebih enam puluh ribu orang menilai buku About Bandung. Bagi Elio itu sudah cukup banyak—bahkan lebih dari cukup. “Tapi, tetep aja.” ujarnya kemudian.
“Kenapa? Lo gak ada niatan bikin sekuel gitu?”
Elio menggeleng. Matanya masih tertuju pada layar ponsel Alea. Alea mengetahui laki-laki itu pastinya penasaran dengan ulasan-ulasan itu. Ia menyodorkan ponselnya agar laki-laki itu bisa leluasa membaca. Elio menatap Alea dengan mengangkat alisnya, kemudian tangannya menerima.
“Kalau lo gimana?” Elio bertanya tanpa menoleh pada lawan bicara. Ia hanya fokus scrolling dan membaca ulasan pembaca. Alea menaikkan alisnya tanda tak mengerti.
“Kalau rating dari lo, berapa?” Elio memperjelas pertanyaannya.
“Ten out of ten.”
Elio langsung menatapnya, hanya beberapa detik kemudian ia mengalihkan pandangannya kembali. “Kareno lo udah tau gue atau…?”
Perempuan itu spontan sedikit memajukan duduknya dan menoleh pada Elio. “Gue aja kasih rating sebelum ketemu lo, kalo tau aslinya gini mah—”
“Apa?”
“Four from ten.” Perempuan itu kembali bersandar ke kursi. Namun kini dengan mencibir kesal.
Elio tertawa kecil. “Rude.”
Laki-laki itu mengembalikkan ponsel milik Alea. Dengan tampang yang masih kesal, ia menerimanya. Kemudia Elio kembali memajukan posisi duduknya dan menyeduh teh yang sedari tadi dibiarkan dingin. Ia juga kembalin bergabung dan mendengarkan obrolan temannya yang lain.
DUA.
Elio mengerluarkan semua tumpukan kardus yang sudah singgah lama di sudut apartemennya. Hampir semuanya berdebu dan using. Tumpukan kardus itu berisi beberapa barang lamanya yang tak terpakai. Ia belum memilahnya lagi semenjak memilih untuk tinggal sendiri. Beberapa barang seperti diary, majalah lama, dan novel. Ia ingin membereskan semua barang itu. Namun, matanya tertuju pada sesuatu yang terselip di sela-sela tumpukan buku. Beberapa surat yang diikat dengan tali rami yang berdebu. Ada sekitar sepuluh ikat surat di sana.
Semasa kecilnya, Elio dan ayahnya, Alshad Putra—memiliki kebiasaan untuk menulis tentang hari mereka setiap harinya. Tulisan-tulisan itu terukir sangat indah. Mereka selalu mendeskripsikan suasana hati, tempat, dan suasana pada waktu itu. Adapun tempat khusus untuk menulis surat-surat ini, yaitu di Jalan Braga yang berada di Kota Bandung.
Dulu, hampir setiap sore, Alshad selalu mengajak Elio berjalan-jalan disana. Melihat keramaian Kota Bandung, melihat orang-orang yang mencari nafkah. Mereka selalu membawa kertas dan pena untuk menceritakan tentang hari itu.
Elio membuka isi amplop itu, ia menutup mata terlebih dahulu, serasa tidak kuasa membaca surat yang dipegangnya. Laki-laki itu menarik napas panjang, lalu matanya mulai menyusuri baris demi baris tulisan tangannya sendiri. Beberapa carik kertas yang ia baca, tak hanya tertulis coretan tangannya di sana. Ada juga coretan dan sususan frasa milik mendiang ayahnya.
Elio menyandarkan dirinya ke dinding. Menatap tumpukan surat itu, tak tahu apa yang akan dilakukan dengan barang-barang lama itu. Tiba-tiba tak sengaja kakinya menyentuh sesuatu. Sebuh amplop, tapi tidak tercampur dengan amplop-amplop lainnya. Amplop dengan tulisan di sudut kiri atas, Untuk Ayah. Elio mengerutkan dahinya, ia mengalihkan pandangannya ke jendela kamarnya yang sudah terkena rintikan hujan, kemudia laki-laki itu menatap surat itu kembali. Elio melamun sejenak.
Dengan lembut, ia membuka amplop itu perlahan. Ia menemukan selembar kertas dan sebuah foto laki-laki tua yang memangku anak laki-laki kecil. Itu mereka, Alshad dan Elio kecil.
Ayah, El menulis buku tentang Ayah. Meskipun El masih kecil, masih berusia tiga belas tahun, tapi El sudah bisa menerbitkan buku. Buku yang El tulis itu, tentang Ayah yang sudah menjadi pria baik untuk Bunda, dan Ayah yang baik untuk El. Andai saja El bisa memutar waktu, sudah dari lama El menulis buku ini dan membiarkan Ayah membacanya.
Kata Nenek, permohonan kita akan terkabul jika berharap pada bintang pertama setelah senja muncul. Namun, El tidak membuat permohonan apa-apa, Ayah. Elio hanya menyapa bintang itu. Bintang itu sangat terang, seperti Ayah. Atau bintang itu benar-benar Ayah? Karena ia paling terang dari bintang-bintang lainnya.
Elio hanya berucap kepada bintang itu, semoga Ayah bahagia tinggal di sana dan tetap bisa lihat Elio kecil yang akan selalu menjadi anak baik.
Aku rindu, Ayah.
Dean merebahkan dirinya ke kasur. Lengan kirinya dijadikan bantalan untuk kepalanya sembari tangan kanannya masih memegang selembar foto. Ia menatap foto itu. Dan perlahan, tangannya bergeraj untuk mengusap wajah ayahnya di dalam foto itu.
Sebutir cairam bening meluncur bebas dari kedua bola mata Elio yang langsung jatuh membasahi bagian samping matanya. Ia memiringkan posisi tubuhnya menghadap ke luar jendela.
“Ayah, El rindu.”
Elio memeluk lembaran foto itu. Membayangkan dirinya dapat memeluk sosok ayahnya kembali dan mendengar suaranya lagi. Air matanya keluar semakin deras dari kedua bola matanya. Pandangannya teralih ke luar jendela. Ia melamun, menatap langit-langit gelap, tak ada bintang atau bulan. Hanya hujan yang turun semakin deras. Seakan semesta mengetahui perasaan yang kini tengah ia rasakan.
・❥・・❥・
Langit pagi ini tak bersahabat. Awan kelabu menghiasi angkasa. Rintik-rintik hujan terjun bebas dari langit, membasahi jalanan, menguarkan aroma khas ketika menyentuh dedaunan dan tanah yang mengering. Ketika matahari mulai menyembul dan membawa terang, mata Elio terbuka karena alarm di atas nakas yang berbunyi. Ia mendesah saat pelan-pelan berusaha mengumpulkan kesadarannya.
Laki-laki itu bangun dengan mata sembap. Jejak air mata yang mengering masih terlihat jelas di sana. Kantung lama yang membengkak akibat menangis yang tak bisa diselesaikan. Elio beranjak dari tidur dan duduk di tepi kasur. Pegal, keluhnya. Dia menggeliat, menggerak-gerakkan leher yang mengeluarkan bunyi berderak kencang. Apakah dia salah posisi tidur lagi? Elio mengerjap-ngerjapkan mata. Matanya menatap ke luat jendela dengan nanar. Sungguh Minggu pagi yang selalu.
Elio melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Menatap cermin yang kini di hadapannya. Matanya benar-benar bengkak. Apakah ini karena ia tak pernah menangis sederas ini sebelumnya? Entah, ia tak peduli dengan hal itu. Elio membasuh wajahnya tapi matanya tetap terlihat sembap.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Elio sudah rapi dengan kemeja yang melapisi turtle neck berwarna hitam. Dia bergegas pergi meninggalkan apartemennya. Elio berjalan kaki, menikmati jalanan yang sepi karena hujan yang baru saja reda. Ia sudah memilih untuk berjalan kaki daripada mengendarai mobil selagi tempat tujuannya cukup dekat,
Kini tujuannya sudah berada di depan mata, Nuju Café. Suasana tenang yang hangat, membuat siapa pun pasti bahagia pagi ini. Terkadang aroma kopi di dapur tercium harus mengelilingi lingkup kafe. Elio memesan secangkir kopi hangat dengan satu donat.
Elio memilih meja di luar karena keadaan di dalam kafe terlalu ramai dan ia tak menyukai kebisingan. Laki-laki itu mengeluarkan buku catatan dan bolpoin hitamnya. Tinta hitam menyentuh lembaran kertas. Tangannya menulis ‘About…’ tapi kemudian ia berhenti sejenak. Menyadari apa yang baru saja ia tulis. About Bandung? Matanya melebar saat membaca tulisan itu, sepertinya dia memiliki keinginan untuk menulis lagi setelah sekian lama.
Elio sudah menulis beberapa ide yang ingin ia tulis di naskah nanti. Sesekali ia menyeruput kopinya dan melahap donat. Dia merasa dirinya sudah jauh lebih baik. Menulis memang obat penyembuh untuk seorang penulis. Elio mengambil foto untuk story Instagram-nya, memperlihatkan kopi, donat, dan bukunya.
@aleakeana replied to your story.
Belum ada satu menit seseorang sudah membalas story Elio. Perempuan itu lagi?
@aleakeana :
Nulis lagi ya?
@elioputra :
Sok tau.
@aleakeana :
Nggak usah nyangkal, gue tau kali.
@elioputra :
Haha
@aleakeana :
Btw, lagi dimana?
@elioputra :
Sarapan
Mau ke perpus, kenapa?
@aleakeana :
Eh?
Boleh ikut nggak?
@elioputra :
Boleh.
@aleakeana :
Asik!
Membaca pesan singkat itu, Elio hanya tersenyum tipis karena perempuan itu sedikit aneh. Terkadang perempuan itu selalu memasang tampang sinisnya pada Elio, tapi ia juga yang selalu memulai interaksi di antara mereka. Jika dipikir-pikir Alea memang sepertinya terlihat aneh dari tingkah lakunya, tetapi itu tak menjadikan Elio untuk menghindar darinya melainkan ia malah menyukainya, bukan sebagai apa-apa—hanya saja Alea bukan orang yang membosankan.
Alea mencari sosok laki-laki yang katanya sudah berada di perpustakaan lebih dulu darinya. Ia menemukan sosok yang ia cari sedang menyandarkan dirinya pada pilardi sebelah meja resepsionis perpustakaan. Elio menunduk menatap ponselnya, tak menyadari Alea yang melangkah menghampirinya.
“Woi,” kata Alea menyenggol pelan lengan Elio,
Elio langsung menoleh menatap perempuan yang hanya mengenakan kaus abu-abu dengan gambar Donald Duck, karakter dari Disney. Pandangan Elio tertuju pada gambar di kaus Alea. Perempuan itu ikut melihat gambar yang mata Elio tuju.
“Kenapa? Lo naksir sama baju gue?”
Elio langsung menggeleng cepat. Dia memasukkan ponselnya ke saku, melepas sandaran dari pilar, kemudia membalikkan badan dan berjalan mendahului Alea.
Setelah beberapa menit mengintari rak-rak buku, Elio menemukan buku yang ingin ia baca. Ia memperhatikan Alea tengah sibuk mencari buku di lorong sebelah. Laki-laki itu menatap Alea cukup lama. Menyadari Alea jalan melangkah ke lorong yang lain dan semakin menjauh darinya, ia segera mengikutinya dari belakang.
Hm? Alea menoleh dan menghentikan langkahnya. Sedari tadi Elio membuntutinya dengan menunduk, pendangan laki-laki itu pada buku. Tak sadar bahwa perempuan di depannya mengehentikan langkahnya, Elio tak sengaja menabrak pelan perempuan itu.
“Lo ngapain ngikutin gue?”
Elio menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Ya nggak apa-apa, ntar lo ilang.”
Perempuan itu mendecak, “Hadeh, lo kira gue gak pernah kesini?”
Elio tak merespons apa-apa. Ia juga tak bergerak untuk meninggalkan perempuan itu sendirian. Dia berdiri dengan menyandarkan tubuhnya di ujung rak. Menunggu Alea mencari buku yang sedari tadi tak kunjung ketemu.
“Lo udah dapat bacaan?” tanya Alea.
Elio mengangkat buku yang ia baca kemudian Alea mengangguk paham. Ia kembali pada rak-rak buku di hadapannya. Perempuan itu meraih buku tebal dengan sampul biru. Buku baru dari seri Bumi karya Tere Liye, Sagaras.
Beberapa menit kemudian mereka duduk berhadapan di bangku bagian tengah perpustakaan. Alea memandangi sekitarnya. Ia menyadari semua orang yang berada di ruangan itu menunduk fokus pada bacaan masing-masing.
“Tumben pada diem,” Alea berujar.
Lawan bicaranya tak menggubris. Laki-laki itu masih terfokus dengan bacaannya. Alea mulai membuka buku yang ia pinjam. Baru saja membaca halaman pertama ia dikejutkan sesuatu.
DDDUAAARRRR!!!
Suara gemuruh petir menyambar dengan kilatan cahaya meyayat mata. Suara terdengar begitu kencang memekakkan telinga. Jendela kaca perpustakaan bergetar. Alea tersentak langsung menoleh ke luar jendela, memandang langit yang kini mulai gelap. Namun, tiba-tiba seseorang menggenggam tangannya. Laki-laki di hadapannya itu tersentak kaget sampai tak sengaja menggenggam tangan Alea.
“Sorry,” ujar Elio langsung menarik kembali tangannya.
Tak lama suara petir kembali terdengar, dan kali ini lebih keras. Laki-laki di hadapan Ale aitu tersentaj menutup telinganya. Kepalanya menunduk dengan mata terpejam rapat. Napasnya memburu, keringat dingin membanjiri tubuhnya.
“El? Lo kenapa?” tanya Alea lembut. Tangannya mengusap-usap pundak Elio.
“Bukan apa-apa, kok,” jawabnya lirih. Ia tetap menunduk, tangannya dengan perlahan membuka sepasang telinga itu.
Elio berbohong. Dia tidak baik-baik saja. Dia punya trauma.
Memang, kalau hanya sekedar hujan biasa, Elio tak masalah. Tapi kalau petir sudah menyerang, ia tak bisa sok berani lagi. Sejak kecil laki-laki itu memiliki trauma dengan suara petir. Bahkan dulu ia sampai takut hanya karena hujan kecil.
Rintikan air-air awan gelap pun berjatuhan. Baiknya, tak ada petir yang terdengar lagi. Elio merasa lebih baik setelah meminum seteguk air pemberian dari petugas perpustakaan. Ia menghembuskan napasnya berat.
“Merasa lebih baik sekarang?”
Alea merasa laki-laki itu masih ketakutan. Ia bertanta untuk memastikan jika Elio sudah tidak apa-apa. Matanya bertanya dengan penuh rasa khawatir. Tidak, perempuan itu tak bermaksud untuk perhatian—ia hanya berperikemanusiaan.
Elio mengangguk, “Thanks, Le.”
・❥・・❥・
Langit masih tampak kelabu, rintik-rintik kecil kembali berjatuhan. Mereka mempercepat langkah menuju halte bus yang jaraknya tak jauh dari perpustakaan. Tiba-tiba, hujan turun tanpa permisi ketika mereka hampir saja sampai halte. Air yang tadinya gerimis turun menjadi hujan deras. Elio menarik tangan Alea dan mengajak berteduh di sebuah toko kecil.
Alea sangat suka hujan. Dia suka suasana sendu yang diciptakan oleh sang hujan. Dia suka suara gemercikan air hujan yang menyentuh permukaan tanah. Kepalanya menengadah saat tangannya merasakan tetesan air langit dari langit yang turun. “Hujannya deras banget…” gumam Alea sambal menatap langit sore.
Angin berembus kencang membuat tubuh mereka tak luput dari derai air. Hujan tak kunjung berhenti, membuat Alea mengusap-usap kedua lengannya kedinginan. Dia hanya mengenakan kaus tipis dan tak ada kain tebal yang dapat membuatnya merasa hangat.
“Dingin ya…” Alea berujar. Ia menatap kemeja flannel yang Elio kenakan. Berharap laki-laki itu tersadar bahwa ia sedang menggigil. Alea tengah membayangkan adegan-adegan seperti di buku-buku romansa yang ia baca. Seorang laki-laki yang memakaikan jaketnya pada perempuan yang mengeluh kedinginan. Namun realita memang tak seindah ekspetasi, Elio hanya menatap balik perempuan itu tanpa melakukan tindakan apa pun.
“Lo mau gue pinjemin ini?” Elio bertanya datar dengan menunjuk kemeja miliknya.
Pake nanya lagi, batin Alea.
“Nggak juga,” Alea hanya mengutarakan dua kata itu.
Elio mengangguk mengerti. Ia melepas kemeja flannelnya dan kini hanya mengenakan turtle neck yang sudah cukup hangat. Tanpa babibu Elio menyodorkan kemeja itu pada Alea. Tak ada satu kata pun yang terucap dari mulutnya, membuat Alea bingung saat melihat kemeja laki-laki itu terulur di depannya.
“Kan gue bilang nggak—”
“Tapi lo bilang dingin,” Elio berujar tanpa menoleh pada lawan bicaranya. Ia masih memandang langit dan rintikan hujan yang semakin deras. Namun tangan dengan kemeja itu masih tetap setia di sana.
“Ya udah kalau nggak mau.” Elio baru saja hendak menarik tangannya kembali tapi Alea menahannya. Ia mengambil kemeja dari tangan Elio dengan tampang masam. Terpaksa menerima karena tubuhnya sudah menggigil.
Kemeja flannel itu hangat di badannya. Hanya saja bagian pundaknya terlalu besar sehingga tangan Alea tenggelam di kemeja itu. Elio sepertinya memiliki bahu yang lebar.
“Terobos hujan, yuk?” Ajak Alea.
Perempuan itu meraih pergelangan tangan Dean dengan perlahan. Ia mengantisipasi penolakan dari laki-laki itu tapi ketika tak ada tanda-tanda perlawanan dari Elio, Alea segera menariknya keluar dari tempat mereka berteduh. Elio sebenarnya enggan untuk membasahi dirinya. Namun melihat Alea yang senang mandi hujan, laki-laki itu menurutinya.
Hujan memiliki arti sendiri di cerita manusia. Ketika hujan turun, orang-orang pasti akan berlari mencari tempat berteduh. Seperti orang-orang di sekitar mereka saat ini. Raut mereka muram memandangi rintikan air yang tak kunjung henti. Seolah air-air itu harus dihindari dan menjadi penghalang urusan mereka.
Namun, Alea tak berpikir demikian. Menurutnya, hujan itu untuk dinikmati bukan untuk dihindari.
Memang sudah terlihat, Alea sangat menikmati hujan. Elio memandangi perempuan itu. Senyumannya begitu manis, menenangkan hati. Alea menikmati guyuran air di tubuhnya. Ia berjingkrak girang di depan halte itu. Ralat, hanya Elio yang duduk berteduh di sana memandangi perempuan yang sedang bermain hujan di depannya. Alea mengusap wajahnya, menari-nari riang. Tarian hujan yang membawa keceriaan tak ternilai.
・❥・・❥・
TIGA.
Perpustakaan SMAN Garuda Bangsa siang itu tampak lengang. Akhir-akhir ini Elio sering berkunjung di perpustakan sekolah. Terkadang ia ditemani Abel dan Jeno, terkadang ia juga pergi sendiri. Musim ujian membuatnya mendadak jadi penghuni tetap di perpustakaan.
Petugas perpustakaan sudah tidak heran jika mendapati Elio yang terkadang ketiduran saat ia belajar dengan keadaan buku yang masih terbuka dan laptop yang masih emnyala. Elio selalu bekerja keras, orang-orang pasti tidak heran melihat nama Elio yang selalu di peringkat pertama. Laki-laki itu dikenal dengan kedisiplinan dan kepintarannya, membuat ia tak hanya digemari para wanita melainkan juga para guru di sekolah.
Setelah menghabiskan sekitar lima jam belajar di perpustakaan. Elio merasa cukup. Ia mengemasi barang-barangnya dan melangkah keluar perpustakaan. Laki-laki itu melangkahkan kaki kea rah mobilnya. Saat hendak membuka pintu mobil, gerakannya terhenti saat dering ponselnya berbunyi. Ia merogoh ponsel di saku celananya. Semua beban lelah di wajahnya hilang sempurna saat mendapati nama yang tertera di layar ponsel.
“Hello, Elio.” Suara lembut itu memulai obrolan di telepon.
“Iya, halo.”
“Lagi apa?” tanya perempuan itu lagi.
Elio terdiam sejenak. Ia membuka pintu mobilnya yang sudah berada di depannya, kemudian menutupnya kembali saat sudah duduk di kursi mobil. “Barusan selesai bikin tugas, ada apa, Bun?”
“Udah makan?”
“Hm? B—udah.”
Elio berbohong. Sudah sering ia melewatkan jam makan siangnya, tidak sempat adalah alasan yang selalu keluar dari mulutnya. Sebernarnya ia tidak suka berbohong pada siapa pun, ia hanya tak mau orang lain mengkhawatirinya.
“Erfin apa kabar, Bun?” tanya Elio.
“Erfin rangking satu terus, pinter kayak Kak El.” Suara bisik-bisik anak laki-laki terdengar dari telepon bundanya. “Iya-iya, nanti dibeliin.” Bunda Elio menjawab dan membisik balik pada anak laki-laki itu.
“Kenapa, Bun?”
“Nggak, Erfin nih minta hadiah ke papanya.”
Elio terkekeh. “Oh…. Ya udah, Bun. Elio mau nyetir dulu, titip salam buat Om Rudi ya.”
“Eh… iya, hati-hati nyetirnya ya, Kak, jangan lupa makan yang banyak.”
Elio hanya berdeham, kemudia menutu telepon. Ia hanya menyadarkan punggung sebentar sebelum menyalakan mesin mobil.
Pertanyaan yang selalu muncul setiap mereka mengobrol hanyalah sekedar menanyakan kabar. Perempuan itu adalah Reva, ibu kandung Elio. Ia menjadi ibu tunggal semenjak Elio berusia sebelas tahuh. Dua tahun lalu, perempuan itu menikah lagi. Awalnya, Elio tidak bisa menerima pilihan ibunya yang menikah lagi. Namun, ia juga merasa dirinyua egois karena ia sendiri sering meninggalkan ibunya karena kesibukannya sekolahnya.
Pada waktu itu juga Elio menyadari, bundanya dan laki-laki bernaka Rudi itu terlihat saling mencintai. Bunda kesayangannya itu selalu melukis senyum ketika bertemu Erfin, anak kandung dari Rudi.
Mesin mobil menyala. Minggu sore jalanan di Jakarta tidak terlalu badan seperti biasanya. Elio menyetir mobilnya ke arah drive thru McD, ia belum menyantap apa-apa sejak siang tadi. Setelah mengambil pesanan, ia menyantap makanannya di mobil sambal menuju pulang.
Setelah membersihkan diri dengan seadanya. Elio menuju dapur. Aroma secangkir teh yang baru diseduh menyusup masuk ke dalam ruangan kamar yang bernuansa hangat. Ia meletakkan cangkir di meja belajarnya, kemudia jemarinya bergerak untuk menghidupkan piringan hitam kuno. Alunan musik klasik langsung saja membuat pikirannya rileks setelah melewati hari yang cukup melelahkan.
Elio kembali duduk di meja belajarnya. Membuka buku tebalnya dan sesekali ia menyeduh teh hangat. Matanya sudah tertuju pada barisan tulisan di depannya, tapi mata dan isi kepalanya tidak fokus pada hal yang sama.
Ponsel di sebelahnya berbunyi, menunjukan notifikasi pesan singkat yang masuk. Elio segera memeriksanya, pesan dari perempuan yang sudah hampir lupa jika ia mengenalnya. Elio bahkan lupa untuk mengganti contact name nya menjadi nama aslinya.
Alea :
El, lo jurusan IPS kan?
Lo paham sama akuntansi dasar gak?
Elio :
Iya.
Paham. Kenapa?
Alea :
Boleh ajarin gakk:((((
Elio :
Boleh.
Tapi gak bisa deket-deket ini, Le.
Gue lagi ujian, Le.
Alea :
Puji Tuhan!
Gapapa! Kabarin aja kalau udah sempet.
Elio :
Ok.
・❥・・❥・
Alea sedang berada di kafe. Suasana kafe yang tidak ramai tapi juga tidak sepi, aroma kopi dan vanila menyeruak ke seluruh ruangan. Kafe itu bernuansa taman dengan sentuhan desain interior dalam yang antik. Suara musik serta desas-desus obrolan manusia mengisi suasana kafe siang ini. Zetta mengajak Alea untuk menemaninya, karena pacarnya juga membawa seseorang teman. Mereka berempat memilih meja di pojok belakang, dengan begitu tidak terganggu oleh pelayan yang sedang berlalu-lalang.
“Lo Alea IPS 2, kan?”
Laki-laki berpostur tinggi mengenakan hoodie mint itu adalah Rizky, pacar Zetta. Sedangkan di sampingnya, laki-laki dengan postur lebih tinggi mengenakan kaus hitam adalah Karel. Laki-laki itu yang baru saja melontarkan pertanyaan.
“Iya, gue juga tau lo kok,” Alea menjawab.
“Tau dari mana?”
Alea mengerutkan dahi. “Siapa sih yang nggak kenal sama kapten basket?”
Mereka terkekeh. Kisah cinta Zetta dan Rizky adalah hasil comblangan anak-anak basket di sekolah.
Sudah hampir dua jam mereka berbincang, sesekali mereka membahas ujian yang akan datang. Ketika sudah berada di ujung topik pembicaraan, keheningan mulai muncul. Mereka menyantap hidangan yang sudah dingin.
Bunyi bel kafe memecahkan keheningn, tiga orang lelaki yang baru saja masuk duduk di samping pintu. Alea spontan menoleh kea rah mereka, karena posisi duduknya menghadap ke luar pintu kafe. Perempuan itu sedikit terkejut melihat tiga laki-laki itu, karena mereka adalah Elio dan teman-temannya.
Elio? Ngapain cowok disini? batinnya.
Mereka tidak saling menyapa, hanya saja iris mata keduanya bertemu. Perempuan itu tidak cukup yakin dengan tebakannya. Penampilannya sedikit berbeda, Elio sedang tidak menggunakan kacamatanya. Terlihat dari wajah yang ia ingat, laki-laki itu benar-benar Elio yang ia kenal. Mata Alea membuang ke berbagai arah saat menyadari hal itu. Tidak sesekali Elio mengarahkan pandangannya ke meja Alea begitu pula sebaliknya.
“Bukannya itu Zetta?” Jeno sambal menunjuk arah meja Alea.
Abel pun ikut menoleh ke belakang untuk memastikan “Oh itu Alea juga, ya? Yang katanya lo kenal, El?”
Elio hanya mengangguk tanpa melihat arah yang dituju oleh Abel. Laki-laki itu hanya terfokus pada segelas Americano di depannya. Sibuk mengaduk-aduk minumannya seolah tak peduli apa yang sedang dibicarakan.
“Kayaknya double date gitu, El.” Jeno meledek Elio sambal menyenggol lengannya.
Elio masih tak menggubris, matanya masih menatap minuman yang ia aduk tak henti-henti.
“Kan gue udah pernah bilang, kalo lo nggak bisa ambil hatinya, ambil aja hikmahnya.”
“Apaan sih, orang gue nggak peduli,” ujar Elio kesal.
Abel dan Jeno menatap satu sama lain dengan tampang menahan tawa. Mereka mengetahui Elio sesekali mencuri pandang ke arah meja itu, tapi ia enggan mengakuinya. Benar-benar lelaki itu denial.
Alea dan teman-temannya bergegas untuk pergi. Pandangan Elio langsung teralih ke arah meja itu. Pelan-pelan ia mengarahkan bola matanya ke arah mereka yang melangkah keluar kafe. Bola mata Elio tidak berhenti mengikuti mereka sampai mengetahui Alea menaiki motor milik lelaki yang tak dikenalnya itu.
・❥・・❥・
“Thanks ya, Rel.” Alea memberikan helm pada Karel.
“Sama-sama”
“Oh iya, Le,” ujar Karel
Alea hanya berdeham dan menaikkan alisnya.
“Kalo misal lo ditinggal Zetta kencan, lo bisa hubungin gue aja barangkali lo bosen sendirian.”
Alea paham dengan maksud tersirat Karel, ia hanya memasang senyuman paksa dan mengiakan maksud Karel. Kini ia benar-benar melangkahkan kakinya dan tak menoleh ke belakang. Laki-laki itu masih berhenti di sana, tak ada tanda-tanda suara motor yang menyala sampai ia menutup pagar rumahnya.
“Jujur creepy banget, gue takut,” gumamnya.
Alea merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya. Lalu ia membuka roomchatnya dengan seseorang dan mengetikkan suatu pesan.
Alea :
Tadi kita ketemu lagi ya?
Kenapa lo nggak nyapa gue :(
Gue tadi juga malu makanya pura-pura nggak kenal haha
Gue nyapa disni aja.
Halo!
Pesan yang Alea kirim sudah terdapat tanda bahwa sudah dibaca, tapi Elio tak kunjung membalasnya. Apa Alea mengganggunya? Apakah Elio ilfell dengannya? Semua pertanyaan itu tiba-tiba muncul di kepala Alea.
Elio :
Ayo belajar
(Link Zoom)
Alea :
ASIKKK
Aplikasi zoom itu seperti video call. Namun keduanya tidak ada yang menyalakan kamera, hanya saja mereka membutuhkan menu share screen untuk belajar bersama. Elio sudah membuat PPT penjelasan mengenai akuntansi dasar. Ia menjelaskan pelan-pelan dan sabar. Elio sudah membuat beberapa soal di aplikasi quizziz, yaitu beberapa soal mengenai akuntansi. Mereka tanpa sadar telah menghabiskan waktu sekitar lima jam untuk belajar bersama.
・❥・・❥・
EMPAT.
Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh. Udara pagi ini begitu sejuk, tidak terlalu terik dan tidak juga terlalu mendung. Sedikit dingin tapi masih terasa hangat. Elio masih berdiri tepat di bawah papan tulisan stasiun Bundaran HI. Kendaraan berlalu-lalang di sana, menghilangkan fokus Elio yang sedang membaca buku.
Seseorang yang ia tunggu kunjung datang, sudah dua puluh menit terlambat dari janji mereka bertemu. Sebenarnya bukan pertemuan yang penting, hanya agenda traktir-mentraktir setelah menjadi tutor sebaya. Baru saja dibicarakan, seseorang yang ditunggu-tunggu menampakkan kehadirannya. Setelah dua bulan, akhirnya Elio melihat sosok perempuan itu lagi.
“Aduh, sorry banget lo pasti nunggu lama, ya?
Elio menggelengkann kepalanya. “Nggak, yuk.”
Begitu menginjakkan kaki di kereta, alih-alih berburu kursi kosong, Elio memilih berdiri di dekat pintu dengan berpegangan tangan pada besi di dekat kursi yang Alea duduki.
“Lo nggak capek, El?” Alea mendongkak dan menatap laki-laki disampingnya.
“Nggak, biar nanti pas keluarnya gampang.
Alea mengangguk mengerti. “Oh oke.”
Sepuluh menit berlalu, mereka hanya berdiam diri. Pandangan Elio mengitari sekeliling gerbong. Penumpang di gerbong ini mayoritas lelaki. Elio tak sengaja menatap lelaki tua yang duduk di depannya. Laki-laki tua itu menatap tajam ke arah Alea sedari tadi. Membuat perempuan itu tidak nyaman dan Elio menyadari itu.
Elio sedikit bergeser agar bisa menghalangi pandangan lelaki tua itu dengan tubuhnya. Lelaki tua itu tersadar dan menatapnya tajam. Elio tidak peduli, ia menunduk dan menatap balik dengan tatapan yang lebih tajam.
Setelah beberapa menit perjalanan, mereka tiba di Galeri Seni Jakarta. Agenda mereka berdua hari ini seperti gallery date. Alea yang mengajak Elio. Perempuan itu sangat menyukai seni. Elio? Ia hanya menemani perempuan itu.
Perempuan yang menyukai hal berbau seni itu tampak girang mengelilingi galeri seni yang menampilkan lukisan dari penulis-penulis terkenal. Matanya berbinar setiap kali melihat tulisan itu. Mereka menghentikan langkah pada lukisan “Serenade Merah Hitam” karya Sunaryo. Alea menoleh pada laki-laki yang berdiri di sampingnya dengan senyum mengembang. Perempuan itu merujuk pada lukisan dengan gaya abstrak pertengahan abad ke-19. Ia meminta persetujuan bahwa lukisan di depan mereka benar-benar indah.
Elio memperhatikan lukisan itu lekat-lekat. Kemudian ia mengangguk dan melengkungkan senyuman. Laki-laki itu mengiakan saja, padahal ia sama sekali tak mengerti maksud dari lukisan di hadapannya. Lukisan dengan torehan garis besar vertical dengan inti warna hitam dan nuansa merah kuning di bagian tepinya. Bahkan ia bingung di mana letak seninya.
“Lo jurusan akuntansi kan, Le?” tanya Elio.
“Iya. Kenapa?”
“Kok bisa suka seni?” tanya Elio lagi.
“Suka ajaa, ngeliat lukisan tuh bikin hati gue tenang. Gue juga selalu kagum sama pelukis-pelukis yang keren-keren ini, mereka hebat banget bisa bikin lukisan secantik itu.” jawab Alea.
Elio mengangguk mengerti.
“Bentar, pegel.” Perlahan Alea merasakan kakinya nyeri, ia memutuskan untuk duduk di kursi yang disediakan. Laki-laki di sampingnya ikut menghentikan langkahnya. Kemudian mereka menatap satu sama lain canggung.
“Kalau lo nggak pegel, liat-liat aja duluan.”
“Oke.”
Elio melangkahkan kakinya, mengitari ruangan itu dan melihat satu per satu lukisan di sana. Meskipun sebenarnya ia tak mengerti tentang hal-hal seni. Namun keunikan lukisan-lukisan itu berhasil membuat Elio penasaran.
Bola mata Alea mengikuti gerak-gerik laki-laki itu. Perempuan itu mengeluarkan sketch book yang ia bawa, kemudia memandangi Elio sejenak. Goresan-goresan pensil sudah tercipta di kertas putih itu. Seorang laki-laki dengan kemeja, yang sedang menatap jeli sebuah lukisan abstrak. Tentu saja, Alea sedang menggambarkan Elio.
Alea masih fokus denga apa yang ia kerjakan, sesekali mencari sosok Elio untuk melihat detail-detail yang ia pakai. Namun jejak laki-laki itu hilang begitu saha di hadapannya.
“Gambar siapa?”
Alea mendongkat dengan tersentak kaget saat melihat seseorang berdiri di belaakang dengan raut datar. Perempuan itu dengan sigap menyembunyikan sketch book-nya.
“Nggak, bukan siapa-siapa—”
“Gambar gue, kan?” tanya Elio sambal duduk di samping Alea.
Alea menggelengkan kepalanya. “Kepedean.”
Padangan Elio menatap kertas sketsa itu, berniat untuk merebutnya dari tangan Alea namun ia mengurungkan niatnya karena ponselnya berdering. Laki-laki itu merogoh saku kemejanya, nada dering itu bukan menandakan telepon masuk atau sejenisnya melainkannya hanya pengingat catatan kalender.
Tidak sengaja Alea mengintip layar ponsel Elio. Two weeks until my birthday. Tulisan itu tertera pada layar ponsel Elio. Alea tak sadar mendekatkan tubuhnya pada Elio yang masih menatap layar ponselnya.
“Wah, ada yang mau ulang tahun, nih.”
Elio menoleh pada sumber suara kemudian memberikan senyuman tipis. “kayaknya.”\
Alea membalas senyumannya. “Ada wishlist, nggak?”
“Hm….” Elio berpikir sejenak. Pertanyan Alea membuat dirinya bingung. Karena sejujurnya, ia tidak memiliki keinginan apa-apa. Iris matanya memandang lukisan di depannya. Papan itu bertuliskan makna dari lukisan dan nama pelukisnya, Herry Dim, pelukis asal Bandung.
“Braga.”
“Kenapa Brag—” Kalimat Alea terhenti ketika ia menoleh. Ia menyadara Elio tengah menatapnya. Ini kali pertamanya Alea menatrap Elio sedekat ini. Rambut Elio yang tebal, sepasang mata berbentuk daun, rahang tegas, dan senyuman tipis di bibirnya. Alea seperti tersihir ketika matanya bertemu dengan sepasang mata berwarna hijau gelap jernih.
Seketika waktu terasa berhenti.
Alea masih terpaku akan mat aitu. Mata yang dapat membuat Alea tidak dapat mengalihkan pandangannya. Seketika Alea sadar dan mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah tak sanggung menatap mata laki-laki itu. Mendadak suasana menjadi canggung.
“Jadi, kenapa Braga?” Alea membuka suara.
Elio memandang lukisan itu lagi. “Memories.”
Alea ikut mengamati lukisan yang menjadi perhatian Elio. “Jadi, lo bakal pergi kesana?”
Elio mengangkat bahunya. “Mungkin.”
Alea hanya mengangguk paham. “Lo mau gue kadoin apa?” tanya Alea.
Elio menatap perempuan itu sejenak, kemudia bola matanya tertuju pada sketch book di sebelah Alea. Jarinya menunjuk buku itu tanpa berniat menatap objek yang ditunjukkannya.
Alea menoleh pada objek yang dituju, kemudian menghembuskan napasnya. Laki-laki itu tak berhenti penasaran dengan sketsa yang Alea gambar. Padahal jelas-jelas ia sudah tahu kalau yang Alea gambar adalah dirinya. Alea takut kalau laki-laki itu merasa rishi jika mengetahui kebenaran siapa laki-laki di gambar itu.
“Rate, dong. Gambar bagian kemeja lo susah tau.”
Elio mengamati sketsa itu dengan jeli. “Tiga dari sepuluh.”
“Serius?” tanya Alea kesal. Ia takt ahu Elio yang tidak mengerti seni atau memang sketsanya yang buruk. Padahal ia menggambar sketsa itu dengan detail dan jelas, bahkan sketsanya cukup mirip dengan orang aslinya.
“Ya udah, sini kalo jelek.” Perempuan itu meminta selembar kertas itu kembali. Elio tidak mengembalikkannya, ia menyelipkan kertas itu pada novel yang ia bawa.
“Buat gue aja, ya?” Elio menganggkat buku yang ia genggam kemudian beranjak dari duduknya. “Balik, yuk?” Laki-laki itu mulai melangkahkan kakinya keluar galeri. Terlihat senyuman tipis tiba-tiba terukir di wajahnya.
“Cowok aneh.” Alea menggerutu. Ia masih duduk di sana, menatap Elio yang sedang berjalan keluar. Sikap dingin laki-laki itu terkadang tidak bisa ditebak. Laki-laki itu membuat Alea bingung sampai ia menggelengkan kepalanya dan mendenguskan napasnya berat, lelah. Ia mengalihkan fokusnya untuk membereskan peralatan gambarnya, kemudian menyusul Elio keluar.
・❥・・❥・
Elio mengambil kertas yang ia selipkan di novelnya. Laki-laki itu berdiri dan berjalan ke arah mading yang berada di pojok kamarnya. Takut lembaran itu tersobek, ia menempelkan gambar sketsa itu disana dengan hati-hati. Tepatnya, sketsa dirinya sendiri yang digambar oleh Alea.
Ia duduk di tepi ranjangnya, menatap sketsa itu cukup lama. Sepertinya, ada yang salah dengan isi kepalanya. Bahkan ia tak paham dengan dirinya sendiri yang mengambil sketsa itu dari Alea. Jika ingin menggambar, pelukis harus memperhatikan detail-detail objek yang digambarnya. Apakah definisi itu mengartikan bahwa Alea sempat memperhatikan dirinya? Secara detail? Secara jeli? Memikirkannya saja sudah membuat Elio merasakan hal aneh. Hal yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, seperti beberapa kupu-kupu sedang berterbangan di perutnya saat ini.
SHARING TUGAS (Group)
Jeno :
Sepi amat ni grup.
Lagi pada ngedate ya?
Elio :
Tau dari mana?
Jeno :
HAH SERIUS?
Padahal gue cuman bercanda.
Abel :
Gua mau ngedate sama siapa coba, baru aja putus kemarin.
Jeno :
Biasanya sat set langsung dapet, tumben.
Abel :
Gini-gini gue juga ada fase setia ya anjir
Elio :
Wkwkwk
Jeno :
Ngedate sama siapa lo, El?
Gue agak nggak percaya seorang Elio bisa ngedate
Finally temen gue normal.
Abel :
Sama yang kemarin kali, si Ale Ale itu.
Elio :
Apaan
Cuman nemenin ke galeri
Abel :
Lah bener anjir, Jen, wkwk
Jeno :
Widih sama Alea?
Pdkt tah boi?
Elio :
Gak jelas.
Elio meraih kalender yang berada di nakasnya. Sepertinya ia adalah tipikal laki-laki yang terorganisir. Kalendarnya memperhatikan jadwal hariannya di sana, di bawahnya berisi keterangan apa yang harus dilakukan pada hari itu, lengkap dengan jam. Angka pertama pada bulan Februari itu sudah dilingkari dengan spidol berwarna merah. Menandakan hari itu adalah hari penting.
Ibu jari Elio terus mengusap layar ponsel secara perlahan. Layar itu menunjukkan beberapa tiket kereta dari Jakarta ke Bandung. Namun ia masih ragu dengan keputusannya, padahal ia sudah merencanakan ini dari tahun lalu. Salah satu wishtlist untuk hari ulang tahunnya ialah pergi ke Bandung.
“Bunda,” Elio membuka obrolan telepon. “El kayaknya mau ke Bandung….” Laki-laki itu tak bisa diam—ia berjalan mondar-mandir mengitari kamarnya, menunggu jawaban dari sang Bunda yang tak kunjung mengeluarkan suara.
“Tiba-tiba banget, ada apa, Nak?”
“Nggak ada apa-apa kok, El cuman pengen liburan aja. Kebetulan habis ini libur semester.”
“Oh iya, uang El juga cukup kok.”
Suara perempuan di telepon itu menghilang sejenak kemudian ia membalas, “Bukan masalah uangnya, Nak. Kamu beneran nggak kenapa-napa, kan?”
Elio menyandarkan dirinya pada tepi kasur. Tangan kirinya meraih pernak-pernik yang berada di nakas, sedangkan tangan kanannya masih menggenggam ponsel yang menempel pada telinganya.
“Bunda lupa, ya?”
“Apa?”
“Satu Juni, El ulang tahun.”
Sejenak, tidak ada jawaban dari sosok tersebut. Tidak mungkin ibu kandungnya sendiri melupakan hari ulang tahun anaknya. Namun jika dipikir-pikit lagi, Elio juga jarang merayakan ulang tahun bersama ibunya pada tahun-tahun sebelumnya. Apalagi, Elio kini hidup sendiri semenjak ibunya menikah lagi.
Kayaknya, Bunda beneran lupa.
“Maaf Elio, Bunda lupa—”
“Nggak apa-apa, Bunda. El cuman minta izin Bunda aja kok, nggak perlu yang lain-lain.”
Bunda Elio mengizinkan putranya. Elio merasa lega, jika begitu ibunya tidak perlu khawatir dengan keberadaannya nanti. Jari Elio kembali mengusap layar ponselnya untuk memmilih deretan tiket-tiket kereta yang akan ia pesan.
Malam ini agenda Elio masih sama, belajar bersama Alea. Akhir-akhir ini mereka saling meluangkan waktu hanya untuk belajar bersama. Apa manfaatnya untuk Elio? Ia baru mengenal perempuan itu beberapa bulan yang lalu. Namun Elio merasa Alea memiliki ketertarikan yang sama dengannya—buku, musik, dan ketertarikan kepada Bandung.
Sesi belajar hari ini lebih santai. Alea sesekali menanyakan hal yang ia tidak pahami pada Elio. Jika tidak ada hal yang Alea pertanyakan, maka tak ada obrolan di sesi belajar itu, hening.
Alea membolak-balik halaman buku, ia menggaruk kepalanya frustasi. Mempelajari hal yang disukai bukan berarti selalu dan tidak akan merasa kesulitan.
“El, pusing,” kata Alea,
Terdengar suara Elio terkekeh. “Ya udah, berhenti dulu.”
Alea mengehela napasnya lega, kemudian membereskan buku-bukunya yang berserakan di meja. Akhirnya Alea langsung merebahkan tubuhnya pada kasur. Sedetik kemudian, Alea langsung bangun dan mengubah posisinya menjadi telungkup. Ia baru ingat sedari tadi telepon itu masih tersambung, namun entah apakah masih ada penghuninya di sana.
Malam itu hujan turun, suara rintik yang cukup deras dengan kilatan petir yang datang tiba-tiba menyambar di balik jendela kamar Alea. Tak lama kemudian, terdengar seseorang menderek tirai jendela dari ujung telepon. Suaranya samar tapi sepertinya tempat tinggal Elio juga sedang diguyur hujan,
“El.”
Sejak tadi laki-laki bernama Elio itu tidak menyahut ketika Alea memanggil, membuat Alea bingung dengan siapa sebenarnya ia bicara. Tiba-tiba terdengar suara berisik yang lagi-lagi bersumber dari ujung telepon. Alea sedikit takut dengan suasana itu. Pemilik ponsel tidak menyahut, namun suara-suara berisik yang entah dari mana asalnya itu beberapa kali terdengar.
“El… gue matiin ya teleponnya—”
“Eh, jangan!” suara Elio sedikit mengeras, tetapi suara itu terdengar samar dan jauh. “Maaf, abis nutup jendela,” ucap Elio, suaranya kini terdengar lebih dekat dan jelas.
“Kirain tadi suara hantu, gue hampir syok.”
Terdengar Elio sedang tertawa kecil. “Lo sibuk, Le?”
“Hm? Nggak.”
Elio terdiam sejenak. “Boleh temenin nggak? Sampai hujannya sedikit reda.”
Perempuan itu mengernyitkan dahinya bingung. Tiba-tiba pikirannya tidak bisa mencerna apa yang Elio ucapkan. Menemani? Sampai hujan reda? Memang ada apa dengan hujan? Sekilas kilatan putih terlihat dari jendela kaca kamarnya, apakah itu sebabnya Elio meminta untuk ditemani?
“Lo…takut petir?”
“Jangan bilang siapa-siapa.”
Alea mengangguk, meskipun lawan bicaranya tak bisa melihat itu. “Mau main Among Us, nggak?”
“Boleh.”
Mereka berdua tengah fokus dengan permainannya. Bekerja sama dan mencari siapa impostor di permainan itu. Alea dengan bangga menebak siapa pembunuhnya, sampai ia lupa untuk menanyakan peran yang Elio dapatkan. Tiba-tiba di akhir permainan, Alea killed by impostor.
“Aneh banget, El. Padahal cuman ada lo di samping gue, tiba-tiba gue mati—apa impostor-nya ghaib kali ya?”
Antara dirinya yang polos atau ia terlalu mempercayai temannya itu. Perempuan itu masih menggerutu kesal dan menyalahkan orang-orang disana, kecuali Elio. Sampai akhirnya omelan perempuan itu terhenti ketika sudah berada di akhir permainan.
Elio the impostor.
Suara tawa Elio terdengar sangat keras. Alea yang mendengar semakin kesal dan sejujurnya, ia malu. Ia melempar ponselnya, tapi tidak begitu keras. Dia benar-benar ingin meninju seseorang sekarang. Rasa malunya tidak pudar juga.
Perempuan itu memukul kepalanya sendiri dengan bantal. Akhirnya tanpa banyak basa-basi, Alea langsung mematikan sambungan telepon.
・❥・・❥・
LIMA.
Semilir angin sore menyejukkan suasana, daun-daun pepohonan menari diterpa angin. Burung-burung berkicau seolah menjadi musik pengiring daun-daun itu. Rerumputan hijau terang mengisi setiap jengkal tanah. Alea berlarian menikmati indahnya tempat ini, sambil membawa totebag yang berisi berbagai makanan ringan dan minuman.
“Jangan lari! Banyak batu, Alea,” seru Elio yang sedang mengambil alat-alat lukis di bagasi mobilnya, kemudian menyusul Alea yang sudah antusias menggelar kain yang beralaskan rumput hijau yang lembut.
“Jangan banyak omong, sini buruan!” Suara perempuan itu mengeras.
Elio mempercepat langkahnya kemudian menata alat-alat dan makanan lainnya dengan rapi. Kain bermotif kotak-kotak merah itu menjadi alas duduk mereka. Alea juga sudah menyiapkkan speaker untuk menyalakan musik di sana. Tempatnya cukup sepi, maka sekeras apa pun suara lagu yang diputar—tidak ada juga yang akan peduli.
Perempuan berambut cokelat tua itu mulai mengeluarkan peralatan lukisnya. Memberikan satu kanvas untuk laki-laki di sampingnya, dan untuk diirnya. Ia juga sudah menyiapkan beberapa warna cat yang akan mereka pakai untuk melukis. Aroma cat minyak dan tiner berdifusi menjadi aroma kental yang khas.
Sedangkan Elio, laki-laki itu sibuk memilih lagu yang akan ia putar. Akhirnya pilihannya jatuh pada lagu “Je te laisserai des mots” oleh Patrick Watson. Lagu itu memiliki nada yang santai dan lembut, cocok dengan perpaduan kicauan burung di sini.
Tangan lentik Alea mulai menggerakkan kuas ke sana ke mari. Menorehkan warna di atas kanvas putih dan sesekali bersenandung mengikuti melodi lagu. Sudah lama sejak ia tak melakukan piknik seperti ini, sekalinya melakukan lagi malah ditemani oleh seseorang yang masih bisa disebut orang asing.
Kini Alea mencari objek untuk dilukis. Matanya mengitari sekitar, dan terhenti pada laki-a-laki di depannya. Laki-laki itu seperti tidak tahu akan memulai melukis dari mana, ia hanya mengaduk-aduk cat yang jelas-jelas sudah merata.
“Lo belum tau kan, mau gambar apa?” Tanya Alea.
Elio menoleh pada lawan bicaranya, kemudian menggeleng karena mengakui omongan perempuan itu benar.
“Mending gini—lo gambar gue, gue gambar lo, gimana?”
“Gue nggak bisa gambar….” Elio memasang tampang masamnya. Ia masih mengaduk-aduk satu per satu cat yang ada di palet. “Tapi, gue mau coba dulu.”
“Oke sekarang pose.”
Tanpa menjawab perkataan Alea, Elio segera meletakkan barang yang ia pegang kemudian bersandar pada pohon dan langsung menoleh ke arah lain seolah-olah ia adalah seorang model andal. Beberapa detik kemudian, Elio menunduk menahan tawanya dengan kepalan tangan. Alea juga ikut menahan tawanya melihat kelakukan laki-laki itu.
Kuas Alea bergerak lincah. Bergerak maju, mundur, lantas ke samping, kemudian ke kanan. Melawan embusan udara yang samar-samar terasa. Menyatukan yang tua ke yang muda. Tak lama kemudian, perempuan itu tersenyum puas setelah menorehkan sentuhan akhir di atas kanvasnya.
“Serius, lukisan terkeren yang pernah gua lihat!” Elio sangat takjub bagaimana lukisan itu terlihat begitu nyata.
“Lebay.”
“Giliran gue.” Alea meletakkan kanvasnya. Kini ia bergaya mengangkat cupcake yang dibawa Elio tadi. Mengenggam cupcake itu seolah ia sedang mengikuti pemotretan iklan kue. Angin kencang berembus membuat helaian rambut panjang Alea yang tergerai menutup Sebagian wajahnya, sangat mendukung gayanya.
Elio masih terfokus dengan kanvasnya. Karena terlalu fokus, ia sampai tidak bisa mengontrol mimic wajahnya. Tampangnya saat ini sudah seperti anak kecil yang asyik sendiri, sesekali ia menjulurkan lidahnya sedikit keluar.
“Alea, jangan marah waktu lihat hasilnya, oke?” Dengan perlahan Elio membalik kanvas itu, ia mengurungkan niatnya lagi. Ia melakukan itu berulang kali sehingga perempuan di depannya semakin geregetan daan penasaran.
“Nggak, nggak akan.”
Perempuan itu menutup mulut dengan kedua tangannya. Lukisan yang Elio hasilkan sangat jauh dari ekspetasi, lukisan itu seperti lukisan anak TK yang baru belajar menggambar. Pencampuran warna tidak ada yang serasi, bahkan berantakan. Meskipun begitu, Alea tetap mengacungkan jempolnya agar laki-laki itu merasa senang.
Alea, kamu nggak harus berbohong, loh.
・❥・・❥・
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Elio masih saja mencoret-coret kanvas, menggambar imajinasinya. Seorang pelukis terkadang membutuhkan passion tersendiri saat melukis, agar saat melukis perasaan itu dapat tercurah seutuhnya sehingga orang lain yang melihat bisa merasakan emosi dari pelukis itu sendiri. Meskipun Elio tidak tau banyak tentang seni, namun dirinya paham tentang metode penyampaian feeling dengan coretan di kanvas.
Meskipun Elio tengah fokus dengan urusannya, ia masih senantiasa mendengarkan celotehan perempuan di sampingnya. Alea masih bercerita panjang lebar tanpa menyadari pembicaraannya sudah tak terarah. Sorot mata Elio yang membuat Alea tidak ingin berhenti berbicara. Ia senang bila seseorang tertarik dengan celotehannya.
Alea menghentikan ceritanya saat menyadari Elio menggores sentuhan akhir pada lukisan yang ia gambar. Laki-laki itu menggambar bangunan-bangunan tua, laki-laki tua, dan beberapa amplop surat dalam satu kanvas. Terdapat tulisan tangan latin di pojok kanan bawah, Braga, when I was there.
“Hm? Lo pernah tinggal di Braga?”
Elio mengangguk. “Sepuluh tahun.”
Alea kembali mengamati satu per satu objek yang Elio gambar. Ia dapat merasakan suasana di lukisan itu. Kota Braga dengan ketenangannya.
“So, what do you miss the most?”
“Hm….” Elio bingung.
Laki-laki itu ikut mengamati lukisannya lagi. Berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan Alea. Beberapa menit kemudian, jarinya menunjuk satu objek di sana. Laki-laki tua dengan topi bundarnya.
“Ayah gue.”
Alea menaikkan alisnya. “Ayah lo?”
“Mirip visualisasi Alshad yang di kepala gue,’ lanjut Elio. Sebelum kaleng itu diberikan, Elio sudah membuka kaleng kopi itu. Jadi, Alea hanya tinggal meneguk minuman itu tanpa kesusahan membukanya.
“Sekarang, ayah lo masih tinggal di sana?”
Elio menggeleng. “Tapi, makamnya di sana.”
Makam? Tampang Alea memastikan bila ia tidak salah dengar. Apakah itu berarti ayah Elio sudah tidak ada? Samar-samar pikirannya teringat sesuatu. Sesuatu yang tak asing dengan cerita laki-laki itu, seperti dejavu.
“Jadi sebagai hadiah ulang tahun, lo pengen ke makamnya?”
Laki-laki itu mengangguk lagi. “Satu-satunya cara menyembuhkan rindu itu bertemu, kan?” tanya Elio tanpa menatap lawan bicaranya. Pandangannya sedikit menunduk, menatapi kaleng kopi yang sudah kosong. Alea merespons dengan tatapam dan anggukan menyetujui kalimat Elio.
Alea beranjak dari duduknya, memberikan telapak tangannya pada Elio. Laki-laki itu mendongak bingung, dan kemudian menatap tangan Alea yang tepat di depan wajahnya. Alea berniat mengajak Elio untuk mengelilingi taman. Perempuan itu tahu bagaimana cara mengatasi suasana bosan di antara keduanya.
“Love language lo apa, Le?” tanya Elio membuat perempuan yang tengah asyik memandang batu kerikil itu menoleh arahnya.
“Word of affirmation, kalau lo?”
Alea meletakkan tangan di punggungnya, kemudian menghentikan langkah. Sedari tadi Alea berjalan mendahului Elio, percuma laki-laki itu memiliki kaki yang panjang namun jalannya tidak cekatan. Berbeda dengan Alea yang tidak sabaran. Namun ketika Elio membuka pembicaraan, ia memperlambat langkahnya agar bisa sejajar dengan laki-laki itu.
“Physical touch,” jawab Elio.
Konteks dari love language yang mereka sebutkan bukan bagaimana cara mereka menyampaikan kasih sayang itu, melainkan bagaimana mereka ingin menerima cinta dari orang lain. Alea adalah tipikal orang yang sangat membutuhkan apresiasi dari banyak oraang di kala ia telah mencapai sesuatu. Sejak kecil, ia sudah sering mendapat peringkat pertama karena nilainya yang tinggi. Namun jarang orang menyadari itu, bahkan keluarganya sendiri menganggap hal itu adalah sebuah keharusan bukan pencapaian.
Physical touch milik Elio juga memiliki arti sendiri. Dulu, ia selalu mendapatkan kasih sayang fisik setiap hari dari ayahnya, a warm hug. Setelah ayahnya tiada, ia sudah tidak pernah menerima dan merasakan kontak fisik dari siapa pun.
“Toel, toel, toel, gini lo baper?” Alea bertanya sambil mencolek-colek lengan Elio.
“Lo cantik.”
Alea tiba-tiba membeku, ia mendongak, matanya bertemu iris mata berwarna hijau gelap itu lagi. Sebenarnya ia tahu, Elio mengucapkan itu hanya membalas candaanya, tanpa ada arti apa-apa. Namun ia merasa, seperti berbeda ketika laki-laki itu yang mengucapkan. Bukan karena apa yang diucapkan, tetapi karena siapa yang mengucapkan.
“Ish, bercandanya. Kalo itu mah bukan pujian, tapi fakta.” Alea melepas tatap dari mata Elio, kemudia menyenggol tangan laki-laki itu canggung.
“Ya emang, siapa juga yang bercanda?”
“Hah?” Perempuan itu mengalihkan pandangannya ke sembarang arah asalkan tidak melihat Elio. Tidak, dia tidak selemah ini biasanya. Pipinya juga tidak mudah memerah. Hanya sepenggal kalimat yang Elio ucapkan bisa membuatnya seperti ini?
Am I really craving for affection? batin Alea.
Matahari sudah akan menenggelamkan dirinya, begitu pula dengan langit yang semakin menjingga. Awan-awan putih juga mulai menyembunyikan sosok di balik mereka.
“Terima kasih udah dengerin cerita gue hari ini, El.” Alea mendekatkan langkahnya ke arah Elio. “Dan, terima kasih kembali karena udah mau cerita ke gua.”
Elio tersenyum. “Maaf kalo tadi gue kesannya oversharing.”
“Nggak masalah, kalo lo nyaman, cerita lebih banyak juga boleh.”
Mereka kembali memberekan barang-barang. Elio memasukannya ke dalam bagasi mobil. Sedangkan Alea, ia membersihkan kuas yang masih ternodai dengan cat-cat yang sudah mengering. Setelah semuanya selesai, mereka melangkah menuju mobil.
“Lo jadinya ngajak siapa ke Bandung?” Alea bertanya sambil menutup pintu mobil.
Elio tidak langsung merespons, ia tengah sibuk menarik sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobil. Setelah berhasil menarik sabuk pengaman yang macet, laki-laki itu menolehkan pandangannya pada perempuan yang duduk di sebelahnya.
“Kalo gue bilangnya lo, gimana?”
ENAM.
30 Mei
Dilangkahkan Alea tungkainya menuju stasiun sembari menyeret koper besar. Sepatu kulitnya yang bergesekan dengan lantai pun teredam oleh suara riuh ramai di stasiun. Langkah kakinya sesekali berhenting ketika berpapasan dengan beberapa orang yang tampak hilir di stasiun membawa troli barang.
Perempian itu mengotak-atik ponselnya dan kemudian menghubungi seseorang, akhirnya ia berpamitan kepada kedua orang tuanya yang mengantarkan dirinya ke sini. Tidak lupa ia juga berpamitan dengan Bang Ecel. Meskipun kakak-beradik itu seperti Tom and Jerry bila berada di satu tempat yang sama, sudah pasti Alea akan merindukan dirinya nanti.
Seorang laki-laki melangkahkan keluar dari kerumunan dan melangkahkan kaki panjangnya menuju ke arahnya. Ia mengenakan kemeja flannel dengan menyeret koper dan membawa tas ransel di punggungnya.
“Barang-barang lengkap?” tanya Elio.
“Lengkap.” jawab Alea mengangguk.
Saat Elio menanyakan apakah Alea mau menemaninya selama di Bandung. Ia langsung meminta izin kepada orang tua Alea saat mengantarkan Alea pulang saat itu. Anehnya, orang tua Alea mengizinkan dan meminta Elio untuk menjaga perempuan itu.
Elio ikut berpamitan dengan keluarga Alea. Ia memasang senyuman ramahnya yang sudah ia usahakan semaksimal mungkin.
Elio menemukan dirinya mengantre di depan loket check in. Karyawan yang bertugas tersenyum dengan senang hati memberikan tiket berbentuk fisik yang telah di pesan Elio beberapa minggu yang lalu.
“Udah?” tanya Alea yang melihat Elio keluar dari antreannya. Elio mengangguk kemudian mengajak perempuan itu untuk mengambil barang-barangnya. Begitu mendengar suara dari speaker yang tergantung di seluruh sudut stasiun, mereka menuju gerbong keberangkatannya.
Elio membantu Alea meletakkan ranselnya di atas tempat duduk di kereta. Kemudia ia mendudukan dirinya di nomor kursi yang sesuai dengan tiketnya. Selang beberapa menit, terdengar suara pengumuman bahwa kereta akan segera berangkat. Perjalanan Elio dan Alea dimulai.
Alea merasa bosan, ia meminta izin untuk tidur dan bersandar di Pundak Elio. Kebetulan posisi tempat duduk Elio ada di samping jendela, ia membiarkan perempuan itu tertidur pulas di pundaknya. Elio kembali melihat jendela, gelap—tidak ada yang bisa dipandangi di saja. Laki-laki itu melamun hingga ia sendiri tertidur pulas.
・❥・・❥・
Perjalanan dari Jakarta menuju Bandung hanya memakan waktu tiga sampai empat jam. Pukul sepuluh malam, mereka menginjakkan kaki di kota kelahiran Elio. Elio takjub, sudah hampir enam tahun tidak pernah mengunjungi kota ini. Meskipun sangat dekat dengan Jakarta, Elio masih enggan untuk berkunjung ke kota ini semenjak ayahnya meinggalkannya. Suasana stasiun juga sudah berbeda sejak ia menginjakkan kakinya di stasiun ini terakhir kalin. Ia seperti terpeleset ke lorong yang mengantarkan pada sebuah dunia baru dan asing, padahal dirinya dulu sangat mengenal kota ini.
Alea akhirnya bisa mengunjungi tempat impiannya dan Elio akhirnya bisa kembali ke’rumah’-nya.
“Laper?”
“Makan bentar?”
Alea mengangguk sambil mengusap-usap perutnya yang kosong. Di dalam kereta tadi, ia sudah melahap satu roti untuk makan malamnya, namun tetap saja itu sama sekali tidak mengenyangkan baginya.
“Punten, bade mesen naon nya?” (Permisi, mau pesan apa?) tanya karyawan bertopi menyapanya ramah dengan aksen Sundanya yang kuat.
“dua sangu sareng hayam” (Dua porsi nasi ayam.)
“Siapp A, diantos nya.” (Siap kak, ditunggu ya.”
Elio bercakap dengan karyawan itu menggunakan bahasa Sunda dengan fasih. Alea menganga menyaksikannya, kali pertama ia mendengar laki-laki itu berbicara bahasa Sunda dengan aksen khasnya. Merdu.
Setelah selesai makan, baru saja keluar dari stasiun, mereka sudah menemukan bus yang akan mereka tumpangi untuk menuju hotel yang berlokasi di jalan Braga. Perjalanan dari stasiun ke hotel hanya memakan waktu lima belas menit. Arus lalu lintas saat ini sedikit ramai, lampu-lampu jalan serta lampu-lampu gedung yang tinggi menghiasi indahnya tepi jalan di Bandung,
Alea mengamati keseluruhan pemandangan di setiap sudut kota itu. Ketertarikan Alea terhadap Bandung bukan hanya alasan. Bandung punya makna tersendiri bagi Alea. Kota cantik dan romantis.
・❥・・❥・
Grand Dafam Braga Bandung Hotel adalah hotel tempat mereka menginap. Sengaja mereka memilih untuk menginap di hotel ini karena lokasinya di Jalan Braga. Jalan iconic Kota Bandung. Jalan yang menjadi tujuan Elio untuk kembali ke sini.
Elio menuju meja resepsionis untuk check in dan membayar total sewa dua kamar yang sudah mereka book sebelumnya di aplikasi online. Setelah mendapat kunci kamar, mereka menuju lantai delapan. Sebenarnya hotel yang mereka inapi cukup penuh, tapi untungnya ada sisa untuk mereka berdua. Dua kamar yang berhadapan.
Elio membuka pintu kamar dengan embusan napas lelah. Pendingin ruangan dan lampu segera menyala saat ia meletakkan kartu kunci di tempat yang disediakan. Koper dan barang-barang lain yang ia bawa ia letakkan di samping tempat tidurnya, ia melangkah menuju pulau kapuk yang sudah tidak sabar untuk merebahkan dirinya di sana. Namun niatnya terurung ketika menemukan jendela kaca yang memenuhi dinding kamar dengan tirai putih di baliknya.
Tirai itu sedikit terbuka ketika laki-laki itu mengintip keluar. Pemandangan yang ia dapat dari atas sana bukan main indahnya. Lampu-lampu dari gedung dan rumah-rumah yang terlihat begitu kecil menghiasi kota. Jalanan sepi karena telah memasuki waktu tengah malam. Bukannya menutup tirai yang sedikit terbuka tadi, ia malah membukanya lebar-lebar.
Elio merebahkan dirinya di kasur, tapi matanya memandang ke luar jendela.
Jalan Braga terlihat jelas di sana, ia bisa merasakan betapa menyenangkan berjalan di tepi jalan seperti yang ia lakukan dulu.
Elio yang tadinya memandangi jendela, kini ia memejamkan matanya dengan embusan napas yang berat. Entah karena gugup atau takut, perasaannya kini campur aduk. Kenangan indah dan trauma juga datang dari kota ini. Tetapi dia ingin menyingkirkan hal-hal negatif, mengingat bahwa dia datang ke sini untuk bersenang-senang, bukan untuk mengingat apa yang terjadi di masa lalu.
・❥・・❥・
TUJUH.
Sinar pertama matahari di pagi ini menembus awan dan menyinari celah di antara tirai tebal. Alea membuka matanya, tersadar ia bangun di Bandung. Perempuan itu bangun dan mengambil posisi duduk, kemudian menyingkap tirai. Sinar matahari di akhir Mei terlihat kekuningan dari ufuk timur. Ia membuka tirainya sampai tidak ada sisa yang memghalangi pemandangan dari jendela kaca.
Alea masih belum percaya bahwa ia benar-benar bangun di Kota Bandung hari ini. Perempuan dengan wajah bantalnya itu meraih ponsel yang berada di meja kecil. Sebenarnya mata coklat terang yang tersentuh sinar itu masih terlihat kantuk, tetapi Alea memaksankan matanya untuk terbuka lebar-lebar. Sesekali ia mengerjapkan irisnya cepat bermaksud untuk menghilangkan kantuk.
Tangannya menghidupkan ponsel yang tadinya mati, mat aitu dipejamkan sembari menunggu ponselnya hidup. Bunyi notifikasi di ponsel Alea tidak berhenti dari semalam. Karena begitu ia tiba di Bandung, ia belum sempat memberi kabar apa-apa kepada keluarga dan teman-temannya. Semalam ketika menemukan colokan listrik di hotel, ia segera mengisi daya tanpa menghidupkan ponselnya.
Room chat-nya kini dipenuhi oleh nama-nama kontak yang sudah bisa ditebak Alea. Ia membalas satu per satu pesan yang ia terima, kemungkinan orang-orang di sana sudah khawatir mengetahui Alea belum mengabari siapa pun. Satu nama terimpit di antara beberapa kontak dengan lebih dari seratus pesan, tentu saja Zetta. Sahabatnyaa itu mengkhawatirinya melebihi keluarganya sendiri, seakan-akan dirinya sudah ditelan bumi
Namun, Alea sangat bersyukur memiliki seseorang yang cerewet dan perhatian kepadanya. Jiwa independennya tidak pernah kadaluwarsa karena sahabatnya sendiri. Meskipun Alea pernah memiliki pacar, Zetta tidak pernah turun peringkat sebagai seseorang yang selalu peduli dan selalu ada untuknya.
Selesai membalas pesan. Alea menekan tombol back pada ponselnya dan kembali ke layar utama. Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Hari ini hari pertama di bulan Juni. Tujuh belas tahun yang lalu, anak laki-laki telah lahir di dunia ini, lebih tepatnya di kota ini. Hari ini adalah ulaang tahun Elio, laki-laki yang ia temui di perputakaan beberapa bulan yang kini menjadi travel buddy-nya.
Tak masuk akal sebenarnya bagi Alea ia bisa mengujungi tempat impiannya sejak kecil bersama laki-laki yang notabene masih orang asing baginya. Mereka sudah cukup mengetahui satu sama lain sebenarnya, bahkan rasa nyaman pun mulai ada. Namun sikap dingin Elio sama sekali tak menunjukkan ketertarikan pada dirinya.
Alea menapakkan kakinya di lantai dan meregangkan otot tubuhnya, kemudian langsung berjalan lancar ke kamar mandi, bersiap untuk memulai paginya. Mengingat hari pertama di Bandung, ia tak ingin mengulur-ulur waktu dan ingin segera menghirup segar di awal bulan Juni ini.
Alea sudah menerima pesan dari Elio yang akan mengajaknya sarapan di hotel. Ia bergegas keluar dan menyempatkan untuk melihat pantulan dirinya dicermin sebelum menemui laki-laki itu. Baru saja membuka pintu kamar, laki-laki dengan kaus putih itu berdiri menunggunya di samping pintu.
Menu makanan di pagih hari ini adalah Nasi goreng. Begitu makananya datang, mereka menyantapnya sampai tuntas.
Piring di atas meja mereka berdua sudah kosong, hanya tersisa beberapa penutup makanan yang diberikan pelayan. Mereka sesekali berbincang dan memandangi jendela kaca di sebelah meja yang mereka duduki. Alea tidak tahu apa agenda mereka hari ini dan ke mana mereka akan pergi. Tidak mungkin ia mengunjungi Bandung hanya untuk bermalas-malasan di hotel.
“Hari ini, mau ke mana?”
Elio baru saja meneguk teh hangatnya lalu meletakkan cangkirnya kembali. “Lo mau ikut gue?”
“Ya terus? Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab itu membingungkan Alea.
Elio mengangguk. “Ya barangkali lo pengin keluar sendiri.”
Alea menyuapkan sesendok pudding ke dalam mulutnya. “Ya udah, gua pergi sendiri aja.” Perempuan itu dengan percaya diri dan yakin mengatakan itu tanpa babibu.
Elio tadinya memandang ke arah jendela langsung menoleh mendengar jawaban Alea. “Banyak penculik, loh.”
Alea menertawakan Elio. Perempuan itu menyeduh teh yang sudah dingin lalu menggantungkan cangkir itu di jarinya. “Seriusan?’
Elio ikut terkekeh lalu menggelengkan kepalanya. Tentu saja tidak, itu hanya sebuah alasan agar perempuan itu tidak pergi sendirian—agar selalu menemaninya.
Tembok dingin dan tinggi, ujung dedaunan sesekali melongok. Semuanya sepi, tak ada siapa pun. Hanya hamparan rumput yang sangat hijau dengn batu nisan di atasnya. Pada bagian atas gerbang masuk tedapat papan bertulisankan “Pemakaman Kristen”. Tiang penyangga papan itu penuh dengan lumut sehingga terlihat seperti pemakaman tua.
Elio menatap sekelilingnya yang sekarang terasa asing baginya, dirinya sudah tak mengenali tempat ini. Elio melangkahkan kakinya pelan, tidak mengikuti irama detak jantungnya yang cepat. Ia mencari-cari makam ayahnya, matanya dengan saksama melihat nama di setiap makam yang ada. Sepertinya, ia lupa kalau makam ayahnya terletak di ujung area pemakaman.
Perempuan di belakangnya ikut bingung, namun ia tetap mengekori laki-laki di depannyaa yang berjalan takt ahu arah. Sesekaali Elio membalikkan badan untuk memastikan perempuan itu masih di belakangnya. Setelah mengitari makam selama sepuluh menit, mereka berhenti di sebuah makam yang berada di barisan kedua dari paling belakang. Makam itu tak lain adalah makam dari mendiang ayah Elio, Alshad Putra.
Elio meletakkan sebuket mawar putih di samping makam itu. Ia menatap sejenak batu nisan yang sudah menua. Tangan kanannya terulur mengusap batu nisan di hadapannya. Laki-laki itu masih menatap makam itu dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan.
“Halo, Ayah,” ucap Elio lirih.
Elio sangat ingin menangis keras dan memeluk batu nisan yang tak pernah ia kunjungi enam tahun terakhir, tapi ia sadar bahwa ada Alea di sisinya. Ia berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh di hadapan perempuan itu.
“Ayah, El datang lagi.” Elio sudah tidak dapan mengontrol nada suara yang melemah. Kedua matanya sudah berkaca-kaca, napasnya pun ikut memburu menahan tangisnya yang ingin keluar. “Ayah, hari ini El ulang tahun.”
Alea ikut merasakan perasaan duka yang Elio rasakan. Ia tahu laki-laki itu sedang menahan air mata yang bisa terlihat di sana. Tangan laki-laki itu juga bergemetar ketika tangan kanannya mengusap batu nisan. Dengan perlahan, Alea meletakkan tangannya pada punggung telapak tangan kiri Elio yang menganggur di atas lutut.
Elio tahu ada sebuah tangan hangat di sana. Namun, ia tak ingin melihatnya. Bukan karena tak menghargai, tapi ia tak mau mengarahkan pandangan ke arah Alea, karena ia sudah tidak bisa menanhan air mata yang sesekali jatuh tanpa sepengetahuan perempuan itu.
“Hari ini… El udah umur delapan belas tahun. El sudah dewasa, Ayah….” Elio kembali menyeka air mata yang berhasil lolos dari pertahananya, bulir-bulir bening itu mengalir perlahan membasahi kedua pipinya.
“Ayah, El juga sudah nulis buku, seperti yang ayah pinta dulu.” Elio kembali mengusap batu nisan itu. “Seseorang membacanya, juga menyukainya, Yah.” Teruslah Elio menangis di sana seraya mengatakan apa-apa yang ada di lubuk hati terdalam. Sampai akhirnya ia berkata, “Seseorang itu dia, Ayah. Alea.”
Dan kini kira-kira sudah enam tahun Ayah meninggalkan duni ini. Meninggalkan aku untuk hidup seorang diri tanpa sosok seorang ayah. Elio kecil yang bahagia, yang selalu memiliki sosok seorang ayah yang mampu melindunginya dengan dekapan pelukan yang sangat erat, yang selalu melindungi dari rintikan hujan dan teriknya matahari, dan yang tidak pernah bosan mendengarkan cerita khayalan Elio yang konyol.
Kini Elio kecil itu telah hilang, Ayah.
Alea memberi tatapan hangat kepada Elio. Ia ikut meneteskan air mata ketika Elio mengucapkan kalimat terakhirnya tadi. Elio menatap balik perempuan itu dengan mata yang sudah menopang banyak air mata. Ia membalikkan tangannya yang berada di bawah telapal Alea. Yang tadinya hanya saling bertumpukkan, kini kedua tangan mereka saling menggenggam.
Genggaman itu semakin erat, Alea bisa merasakannya. Ditatapnya mata Elio yang masih menahan nangis. “El….”
Laki-laki itu menoleh dan segera menyeka air matanya lagi, dengan perlahan Alea melonggarkan genggaman seperti hendak melepaskannya. Elio menyadari gerak-geriknya, ia langsung melepaskan genggamannya begitu saja—dirinya menyimpulkan Alea rishi dengan genggaman tangan itu.
Setelah melepakan genggamannya tadi, tangan Alea berpindah ke Pundak Elio—merangkulnya. “Jangan ditahan, luapin semuanya, gue di sini.”
Elio menunduk, isak tangis mulai pecah dari mulutnya. Perasaan sangat abu-abu karena merindukan ayahnya. Namun dengan perlahan, perasaan itu mulai memudar. Entah mengapa ia merasa begitu hangat karena keberadaan Alea.
Mereka melangka menuju pintu keluar pemakaman dengan mata sembap dan isakan yang masih terdengar dari laki-laki itu. Mereka berdiri di samping pagar besi pintu keluar, menunggu taksi yang sudah dipesan untuk kembali ke hotel.
“Gimana perasaan lo sekarang?” Alea bertanya, memastikan Elio sudah merasa lebih baik. Elio menghembuskan napasnya kemudian memberi senyuman tipis. Tanpa menjawab apa-apa ia hanya menatap Alea.
“Butuh sesuatu yang bisa gue bantu? Sebuah pelukan misalnya?”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Elio langsung mendekat lalu memeluk tubuh ramping Alea. Alea tidak menolak pelukan itu melainkan tangannya terangkat membalas pelukan Elio dengan erat.
“Alea, Terima kasih, lagi.”
・❥・・❥・
Mereka kembali ke hotel untuk beristirahat sebentar. Elio menekan tombol lift menuju lantai delapan. Sebelum membuka pintu kamarnya, Elio emmbalikkan badannya ke arah kamar Alea. “Kalo pengen keluar, ketuk kamar gue aja ya.”
Alea mengangguk mengerti. Sebenarnya bisa saja mereka langsung mengunjungi beberapa tempat wisata hari ini tapi sepertinya hari ini adalah hari yang berat untuk Elio. Alea tidak ingin merepotkan laki-laki itu. Ia membiarkan Elio untu menghilangkan maya sembapnya terlebih dahulu. Kemudian ketika laki-laki itu sudah merasa lebih baik, mereka bisa pergi keluar lagi.
Sejak tadi pagi. Alea belum mengucapkan selamat ulang tahun pada Elio. Padahal ia tahu hari ini adalah hari ulang tahunnya, bahkan ia sudah mencatat di kalender ponsel. Alea memang berniat untuk memberi kejutan kecil sejak tadi pagi, tapi ia belum sempat.
Hari ini Alea belum memiliki agenda apa pun selain menemani Elio ke makam. Jam masih menunjukkan pukul dua siang, yang berarti hari masih panjang sampai menjelang esok. Perempuan itu melihat jendela kamarnya, menemukan masih banyak orang di bawah sana. Sebenarnya ia tak mempercayai ucapan Elio yang mengatakan banyak penculik di sini, tapi tetap saja itu masih membuat ia parno dengan jalan yang sepi.
Memastikan lagi jalanan masih ramai, perempuan itu mengambil tasnya lagi lalu membuka pintu kamar perlahan. Ia tidak ingin penghuni kamar di hadapannya mendengar, karena ia hendak pergi keluar tanpa mengetuk pintu kamar itu.
Alea sebenarnya juga tidak mengerti ke mana tujuannya sekarang. Ia hanya mengandalkan Google untuk mencari rute toko kue terdekat dari hotelnya. Setelah berjalan beberapa menit, ia menemukan toko kue kecil yang berderetan dengan puluhan toko lainnya, Canary Bakery And Cafe.
Lampu yang berpijar di balik lipatan kaca membuat kue-kue tersebut terlihat menggiurkan. Black forest, rainbow cake, walnut cake dan berbagai kue lainnya terletak rapi di sana. Ada pula berbagai kue kecil dideretkan pada etalase, seperti mini pie, cupcake dengan berbagai macam rasa.
"Teh, mau yang ini satu." Alea menunjuk salah satu kue dengan hiasan basic cream, jaga-jaga jika Elio alergi dengan kacang, cokelat, atau rasa-rasa manis lainnya. Penjaga toko di balik lemari kaca itu mengambil kue pilihan Alea lalu membungkusnya dengan kotak putih dan pita emas di atasnya.
・❥・・❥・
"Selamat ulang tahun, anak ayah." Baru saja membuka pintu kamar hotelnya, Elio itu dikejutkan dengan Alea yang membawa kue tak lupa dengan lilin yang menyala. Elio melipat bibirnya menahan senyum karena malu. Ia masih terkejut, padahal ia mengira Alea tidak akan mengingat hari ini.
"Emang gue ulang tahun?"
"Heh—iya kan? Gue takut salah tanggal." Elio terkekeh gelli melihat tampang Alea yang terkejut. Bola matanya hampir keluar dari sana. "Bikin permohonan sebelum tiup lilin," ucap Alea lagi.
Elio menatap barisan lilin warna-warni yang sudah hampir meleleh. “Gue nggak percaya sama hal kayak gitu sebenernya, tapi, baiklah, gue akan meminta satu.” Elio memejamkan matanya lalu membuat permohonan di dalam hati. Ia berharap agar sesuatu yang sudah ia rencanakan besok dapat berjalan dengan lancar, ia juga berharap agar keluarganya selalu berbahagia di mana pun mereka berada. Dan terakhir, ia mengharapkan keselamatan dan kebahagiaan untuk Alea. Laki-laki itu bahkan tidak membuat permohonan untuk dirinya sendiri, tapi ia menyempatkan untuk menyelipkan perempuan itu pada permohonannya.
Matanya terbuka, ia memandang Alea yang tampak antusias menunggunya. Elio pun meniup dua lilin itu sekaligus. Walaupun ini merupakan perayaan ulang tahun yang sepi, tapi rasanya tetap semarak karena Alea. Untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, Dean menarik Alea ke dalam pelukannya.
"Terima kasih, Alea"
"Sama sama, El."
Pelukan itu berlangsung singkat. Hanya beberapa detik sebelum Elio melepaskannya. Tiba-tiba, Alea meraih krim kue ulang tahun yang tersisa di tutup kotak lalu mencoleknya ke pipi Elio. Krim berwarna putih itu tampak mewarnai wajah laki-laki itu. Laki-laki yang menjadi sasaran benar-benar terkejut. Biasanya Elio tidak mau bertindak kekanak-kanakan, tapi ia tidak mau membiarkan wajah Alea tampak bersih. Colekan krim tiba-tiba sudah mendarat di pipi Alea.
“Hei, yang ulang tahun kan lo, kenapa gue juga kena sih?”
"Nggak adil kalo gue doang" Elio terkekeh.
Mereka mengakhiri hari pertama pada bulan Februari dengan menikmati hidangan malam dari restoran ternama Bandung, Miss Bee Providore Restoran ternama bukan berarti harus restoran megah. Elio bernostalgia di mana ia sesekali ke sini saat ayahnya menerima gaji bulanannya.
Struktur dan ciri khas restoran itu tetap sama. Bahkan menu yang biasa ia pesan bersama ayahnya juga masih ada. Hanya saja sekarang warna dinding kayu yang mengelupas dicat agar lebih terang dan terlihat lebih rapi.
Alunan musik klasik terdengar begitu merdu menemani makan malam di setiap meja yang sudah terisi penuh oleh pasangan atau yang sedang menghabiskan waktunya dengan keluarga dan kerabat.
Perut mereka berdua sudah terisi penuh. Kemungkinan Alea bisa tertidur tenang malam ini, tanpa mencari-cari camilan ketika tengah malam nanti. Kelaparan tengah malam sudah menjadi kebiasaan Alea.
Malam itu menjadi pelengkap manis untuk mengakhiri hari pertama di bulan Februari, dan juga hari ulang tahunnya. Ia juga mendapat kado terindah tahun ini, kembali ke kota kelahirannya, mengunjungi makam ayahnya dan menghabiskan hari ulang tahunnya untuk pertama kali bersama Alea.
・❥・・❥・
DELAPAN.
Matahari sudah terbit sejak beberapa jam yang lalu, dan sekarang sedang sibuk-sibuknya menyinari kota itu. Orang-orang keluar dari bangunan-bangunan rumah bergaya arsitektur Oud Indisch Stijl yang berjejer rapi di pinggiran kota.
Tepat pukul sepuluh pagi setelah sarapan, Alea dan Elio pergi mengelilingi kota yang ramai dan sibuk ini mereka menyusuri Jalan Braga untuk melihat pemandangan yang sudah Elio rindukan sejak lama.
Banyak toko-toko kecil klasik bernuansa kuno yang menjual pernak-pernik dan makanan. Untuk saat ini, Alea belum tergiur untuk membeli pernak-pernik di sana. Ia berniat untuk membelinya di kala mereka akan kembali ke Jakarta nanti. Mereka berdua asyik mengamati beberapa penduduk setempat yang mulai berlalu-lalang di jalanan.
Saat melewati bangunan-bangunan rumah itu, mereka menemukan sebuah kedai roti. Barisan roti cokelat tanpa pembungkusan itu diletakkan di sebuah papan kayu yang menghadap keluar kedai. Entah roti-roti itu hanya pajangan atu tidak.
“Mau?”
Alea menoleh pada sumber suara. “Kalo gua liatin, bukan berarti gue mau, ya.”
Elio tertawa kecil. Padahal sudah terlihat dari raut perempuan itu, ia seperti ingin menyantap salah satu roti yang berada di dalam sana.
Alea menatap kagum pada bangunan di hadapannya. Matanya menelusuri satu per satu sudut bangunan di sana. Mereka melangkahkan kaki mendekati pintuk masuk Museum Konferensi Asia Afrika. Dari pintu masuk sudah dapat terlihat dinding yang memanjakan mata. Lorong-lorong dan beberapa papan yang menceritakan peristiwa Konferensi Asia Afrika.
Karena bangunan itu cukup besar, Alea dan Elio tidak bisa mengitari sepenuhnya. Lorong yang belum mereka masuki terlihat mirip dengan yang lainnya, maka dari itu untuk menghemat energo mereka melewatinya begitu saja. Kaki Alea sudah terasa nyeri padahal baru satu destinasi yang mereka kunjungi hari ini.
“Pegel,” ucap Alea sambal mengusap-usap lututnya.
Elio hanya terkekeh, kemudian laki-laki itu menunjuk pintu keluar yang sudah dekat. Kembalilah mereka di halaman besar itu, dan berhenti sejenak di sana.
“Mau ke mana lagi?”
“Makan, yuk? Gue laper, hehe” ucap Alea cengengesan.
Elio mengangguk. “Mau dimana?”
“Di Kafe Jurnalisa, mau?”
“Oke.”
Setibanya mereka di Kafe Jurnalisa, mereka duduk di pojok. Lalu mereka memesan makanan untuk disantap.
“Lo udah pernah dengar the secret story of swan?” Elio bertanya tiba-tiba.
Alea menggeleng. “Belum, apa tuh?”
Elio langsung menaikkan pundaknya sambil memakan makanan pesannya. “Ya nggak tau, kan rahasia,” jawabnya.
Alea hanya terdiam, tiba-tiba kepalanya tidak bisa mengerti maksud yang Elio bicarakan. Kemudia ia menyadari bahwa laki-laki itu sedang membuat lawakan, yang sebenarnya tidak lucu.
“Lo agak aneh ya,” ucap Alea sambil tertawa kecil. “Untung cakep,” gumamnya pelan. Ia kembali mengalihkan pandangannya kembali makanannya.
Meskipun suara Alea terdengar sangat pelan saat mengatakan kalimat terakhir, tidak berarti Elio tidak mendengarnya. Seketika bibirnya melengkung menahan senyum.
“Le.”
Alea hanya berdeham merespons panggilan dari laki-laki itu.
“Gue pengen ngomong sesuatu,”
Kalimat yang baru saja didengar itu berhasil membuat Alea menatap Elio.
“Gimana kalo sebenernya, tokoh Alshad di buku yang lo bac aitu ayah gue sendiri?”
Alea pun baru sadar, jika nama ayah Elio dengan karakter yang ia tulis di bukunya memiliki nama yang sama. Artinya, dugaan Alea itu benar—ketika ia mengatakan postur ayahnya memiliki visualisasi yang sama yang ia buat di kepalanya untuk Alshad di buku About Bandung.
Perempuan itu memasang tampang menandakan tanda tanya. “Eh? Itu juga yang gue pikir waktu baca nama ayah lo kemarin di makam.”
Elio menelan ludah. “Lo pasti bakal benci ini,” laki-laki itu tidak melanjutkan kalimatnya dan membuat Alea menunggu. “Benci apa?”
“Tokoh Deverra, itu juga gue sendiri.”
Alea terkesiap. Dengan sontak ia menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya. Selama ini, ia hanya mengagumi seorang karakter buku, Deverra. Tak disangka bila karakter itu benar-benar ada di dunia ini, bahkan memiliki wujud yang nyata. Dan yang membuat ia tidak percaya lagi—karakter yang ia kagumi adalah seorang laki-laki yang ada di depannya sekarang.
Alea merasa sedikit malu karena ia sering menceritakan panjang lebar tentang betapa besar rasa kagumnya pada tokoh Deverra. Namun ternyata selama ini, Deverra itu sendiri yang mendengarkan cerita-cerita konyolnya.
“Serius, kalau lo nggak keberatan, certain semuanya dong,” pintanya dengan mata yang berbinar, ia menopangkan sikutnya pada meja kafe. “Gue pengen denger cerita dari seorang Deverra langsung.”
Elio memakan suapan terakhir makananya dan meletakkan sendoknya di atas piring.
“Jadi….” Elio berdeham sebentar kemudian ia melanjutkan, “Ayah meninggal waktu gue umur tiga belas tahun, yang mana itu berarti lima tahun yang lalu. Persis seperti di buku, semenjak gue kecil, hampir setiap sore gue dan bokap pergi ke Jalan Braga. Gue dan bokap punya kebiasaan yang selalu kami lakuin waktu bersantai di jalan itu, yaitu nulis puisi bareng. Menulis tentang apa aja yang kami lakuin hari itu. Tentang apa yang kami lihat, dengar, dan rasakan. Kertas-kertas coretan puisi itu gue simpan di amplop. Sampai seiring waktu, menghasilkan beberapa ikat surat.”
Amplop-amplop itu sampai sekarang masih disimpan oleh Elio. Meskipun kertasnya sudah berubah kaku dan using, dia tidak akan membuangnya. Karena hanya barang-barang itu yang ia punya dari ayahnya. Bila sudah rusak atau hilang, tidak ada yang bisa menggantikannya, bahkan uang yang melimpah sekalipun.
Alea masih berdiam diri di sana, mendengarkan laki-laki itu bercerita. Tampang antusiasnya mendengar cerita Elio terlihat sangat tulus. Banyak kata-kata yang berlarian di kepala Alea. Pertama, apakah laki-laki itu nyaman menceritakan hal ini kepadanya? Kedua, Elio seperti bukan Elio yang pertama kali ia kenal. Saat itu, Elio adalah seseorang pendiam yang bercerita panjang lebar kepadanya, untuk kali pertama.
“Kadang gue masih belum percaya, dia pergi begitu cepat.”
Elio menceritakan akhir dari ceritanya. Perempuan itu mentap raut Elio yang menunduk dan murung terbawa suasana cerita. Tak lelah ia mengatakan ratusan kali kepada Elio bahwa ia masih takjub dengan ceritanya. Rasanya seperti membaca ulang buku About Bandung, tapi bedanya dunia dalam buku ini benar-benar ada, bahkan karakternya sekarang berada di hadapannya.
“Gue harus mengakui gue kagum banget sama lo.”
Elio terkekeh. “Apaan sih.”
“Dengar, El,” Alea menggenggam kedua tangannya sendiri “Dari awal cerita yang lo tulis sendiri di buku, sampai akhir halaman pun, gue bisa bac aitu berkali-kali. Karena cerita lo dan Alshad, bener-bener indah.”
Elio menghela napasnya. Ia tidak pernah berani menceritkan tentang hal pribadinya ke siapa pun. Bahkan sahabatnya sendiri, Jeno dan Abel, tidak pernah mendengar Elio berbicara banyak. Namun entah mengapa, perempuan di hadapannya itu berhasil membuatnya nyaman untuk menceritakan apa pun. Elio hanya berharap dia tidak menyesalinya di kemudian hari.
Setelah menyelesaikan ceritanya. Elio mengajak Alea untuk keluar dari kafe karena hari mulai petang. Mereka memilih untuk menyusuri Jalan Braga dan mencari tempat duduk yang nyaman dan sepi.
Matahari terbenam adalah waktu di mana matahari menghilang di bawah garis cakrawala di sebelah barat. Lampu-lampu kota mulai dinyalakan. Orang-orang mulai berkerumunan, biasanya mereka ke sana untuk menikmati suasana sore bersama orang-orang tersayang.
“Rame banget,” ucap Alea.
Elio menyaku tangannya karena udara sudah mulai dingin. Sedangkan perempuan yang tengah asyik melahap rotinya.
“Duduk di sini aja.”
Elio masih berdiri di belakanh Alea yang sudah duduk di tepi jalan yang lumayan sepi. Laki-laki itu memundurkan langkahnya, kemudian membuka kamera ponselnya. Dia mengambil foto punggung Alea yang memperlihatkan pemandangan jalan juga di sana.
“Cantik.” Katanya. Entah pemandangan atau seseorang yang duduk di depannya.
Alea tampat meneliti beberapa orang di sekitarnya yang tengah berbicara dengan kawannya menggunakan bahasa Sunda dengan aksen yang begitu kuat. Membuatnya tersenyum tipis mendengarkan cerita mereka, meskipun ia sendiri kurang memahami topik perbincangan orang-orang di sana.
Ketika Alea menyadari ia duduk sendirian, ia menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri untuk mencari Elio. Ia menemukan laki-laki itu tengah sibuk dengan ponselnya.
“El,” Alea memanggil dengan suara yang cukup keras kemudia menepuk-nepuk tempat di sebelahnya untuk mengajak Elio duduk bersamanya.
Langit sudah menggelap sejak setengah jam yang lalu, sementara itu Elio sepertinya belum berniat mengajak Alea kembali ke hotel. Meski sudah seharian penuh mereka bersama, keduanya masih sama-sama ingin menikmati suasana di tepi Jalan Braga.
“Le, laper nggak?”
“Kayaknya lo emang udah hafal sama jadwal laper gue ya?”
Elio terkekeh. Laki-laki itu menyibakkan rambutnya yang beberapa kali turun menutupi penuh dahinya karena angin. Kemudian ia merogoh saku dalam jeans-nya, lalu mengeluarkan sesuatu itu dari sana. Dari gerak-geriknya, Elio seperti berniat untuk memberikan sesuatu itu kepada Alea.
Elio menggigit bibir bawah nya. Apakah waktunya sudah tepat? Elio membatin. Ia mencoba untuk mengatur napas. Sungguh, ia sangat gugup saat ini. Seperti ada yang menarik tangannya, yang membuatnya susah untuk memberikan sesuatu itu.
“Le,” ujarnya dengan tangan gemetaran, ia memberikan sebuah amplop putih bersih. Laki-laki dengan mata tajam, garis rahang yang tegas, dan bibir proposional itu menatap Alea.
Alea melihat amplop misterius itu dan Elio secara bergantian, menunggu laki-laki itu mengatakan konteks dari amplop yang ia berikan.
“Selagi gue pergi, lo baca ini ya?”
Alea mengerutkan alisnya, bingung. “Hah? Ini apaan?’
“Udah baca aja, oke?”
“Eh—”
Elio berlari meninggalkan Alea begitu saja. Perempuan itu masih bingung apa maksud dari amplop ini. Ia menatap Elio yang tengah berlari ke arah tempat makan, dan kemudian jejak laki-laki itu sudah menghilang begitu saja. Pandangan Alea kembali pada amplop di tangannya. Ia membalik-balikkan amplop itu memastikan apakah ada tulisan yang tertinggal.
Today I told someone that I loved her, without expecting anything in return.
Tulisan itu tertulis pada bagian depan amplop dengan alamat Kota Bandung. Tidak hanya itu, Elio juga menulis alamat lengkap hotel mereka dengan nama Alea Keana sebagai penerima. Kepala Alea saat ini penuh dengan tanda tanya dan rasa penasaran. Perlahan ia membuka amplop itu. Amplop putih seperti kartu pos berisikan dual embar kertas yang berisi beberapa tulisan tangan. Matanya membaca baris demi baris kalimat itu dengan saksama.
Do you think there is the possibility of you and I? In this lifetime?
I don’t know, if that’s too much to hope for.
I knew it from that first moment we met, it was not exactly love for the first sight
but I don’t know it was a quiet feeling, a strange feeling, even myself can’t hear it.
It came without prologue or epilogue.
Without the universe knowing, we found each other.
I saw love in your smile and I recognized it for the first time in my life.
I’m trying to hide this thing inside my head.
But, when I tried to tell myself I wasn’t in love
was the moment I realized I was.
And today, if I say I love you.
You would say, how much?
I couldn’t find the words to answer.
But you should know, I’ve been in my darkness time
then the veil of the light came to me, and that was you.
If you choose to fall in love, fall in love with the writer.
You will live in the pages of the poem
you will weave story about yesterday with him.
Do you want to be in that place?
So if you choose to fall in love, fall in love with the writer.
A writer like me.
For the one and only, Alea Keana.
Please choose your answer.
A. I would like to
B. Hm, try again later.
Elio bukanlah seorang yang ahli dalam memperlakukan wanita atau memahami perasaan wanita karena dia sama sekali belum pernah menjalin hubungan dengan siapa pun sebelumnya. Satu-satunya wanita yang ia kagumi hanya bundanya sendiri. Dia sudah pernah mengatakannya berulang kali, ketika teman-temannya ingin mengenalkan dirinya pada seseorang, Elio akan selalu menolak. Karena ia belum menemukan perempuan yang benar-benar membuatnya tertarik secara keseluruhan.
Elio bukan laki-laki yang akan tertarik dengan paras seseorang, bahkan secantik apa pun perempuan itu, apabila ia tak tertarik maka ia akan selalu begitu. Tidak ada yang tahu dari sudut pandang Elio, perempuan seperti apa yang membuatnya tertarik, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu.
Elio berjalan mondar-mandir takt ahu arah, bahkan ia belum membelikan makanan apa-apa untuk Alea. Laki-laki itu merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Kakinya seperti sudah tidak kuat untuk berjalan lebih jauh lagi.
“Kayak nggak pernah confess aja lo, El,” gumamnya. “Tapi kan emang nggak pernah,” ia bergumam lagi sambil memainkan jarinya, gugup.
Jeno dan Abel membantu Elio yang meminta tips mengatasi gelisah yang tak hilang-hilang, merekaa menyuruh Elio agar segera kembali pada Alea yang ia tinggal sendirian di tepi jalan. Untung saja kedua temannya itu tidak bisa melihat sikap aneh Elio saat itu, bisa-bisa mereka akan menertawakannya seumur hidup.
Laki-laki yang Alea tunggu datang sepuluh menit lebih cepat dari yang ia perkirakan. Tanpa mengeluarkan kata apa-apa, Elio menyodorkan tangannya pada Alea. Perempuan itu masih tidak menggubris yang membawa kebab daging itu yang sejak tadi udah berada di depannya.
Tubuhnya masih membeku di sana dengan kedua tangan menutup wajah. Sebenarnya ia tak kuasa menahan senyumnya saat itu. Ia sudah mengintip mencari tahu apakah laki-laki itu sudah kembali. melihat sepatu converse putih yang ia kenal sudah berada di sampingnya menandakan laki-laki itu sudah kembali, wajah Alea memerah.
Setelah membaca pernyataan yang ditulis puitis lewat surat tadi, jantung Alea terasa berhenti berdetak detik itu juga sampai sekarang.
Alea membuka tangannya perlahan, kemudian memberikan surat itu kembali pada Elio. Hanya memberikan, tanpa menolehkan pandangannya. Mereka berdua tidak saling berbicara, bahkan menatap satu sama lain pun tidak.
Jawaban atas pernyataan cinta Elio ada di sana, di dalam surat yang Alea berikan. Elio melirik Alea dengan sudut matanya, kemudian menerima sebuah amplop itu. Apa pun yang Alea jawab sebenarnya tidak akan menjadi masalah baginya, tapi bolehkah ia sedikit berharap?
Surat itu perlahan dibuka, Elio masih tidak siap dengan jawaban yang ia akan terima. Elio mulai merasakan jantungnya berdebar kencang dan ia merasa gugup. Sorot mata hijau gelap itu kembali menatap surat untuk menemukan jawaban Alea. Wajah Elio saat gugup sangat lucu, pipinya menggembung membuat perempuan di sebelahnya ingin mencubitnya. Inikah laki-laki dingin yang ia kenal?
Elio mencoba menetralkan degup jantungnya yang masih saja bertalu-talu sampai sekarang. laki-laki itu masih terpaku di tempatnya, ia lupa bagaimana cara bernapas. Matanya membulat penuh saat membaca jawaban Alea.
“Stop ngeliatin gue.” Alea berujar tanpa menolehkan pandangannya.
Elio tertawa kecil. “Udah nggak ada yang ngeliatin.”
“Balik yuk? Dingin,” kata Alea.
“Can we—”
Elio tidak menjawab. Ia menatap Alea dan menunggu perempuan itu melanjutkan kalimatnya.
“Uh…holding hands? But if you mind—”
“No, I don’t mind.”
02 Juni. Thank you Alea, thank you for loving me.